Robert Firestone dalam buku “Suicide and the Inner Voice” menulis bahwa mereka yang mempunyai kecenderungan kuat untuk bunuh diri, banyak yang lingkungan terkecilnya tidak memberi rasa aman, lingkungan keluarga yang menolak, tidak hangat, sehingga anak yang dibesarkan di dalamnya merasakan kebingungan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
KALAU kita cermati,
tiga tahun terakhir ada hal yang cukup membuat giris, menyangkut jumlah
orang (bahkan anak!) yang melakukan tindakan mengakhiri hidup. Ketika
mencari data dari pemberitaan sebuah koran selama 2005, ada 70 berita
tentang bunuh diri di Indonesia, dengan 73 korban. Isinya beragam. Ada
polisi mencabut nyawanya sendiri pascamenembak temannya, ada yang
terjun bebas dari ketinggian, pertengahan bulan lalu malah Awang Aditya
(10), siswa kelas IV SD, menggantung diri lantaran seragam pramuka
yang akan dipakainya ke sekolah masih basah! Yang cukup menggemparkan
ketika medio Mei, seorang anak TK, 5 tahun 8 bulan, kedapatan tewas
menggantung diri sehabis dimarahi.
Itu baru dari satu koran. Sebuah laporan menyebutkan di Indonesia ada 112 kasus bunuh diri pada tahun 2003 dan Badan kesehatan
Dunia (WHO) menyebutkan pada tahun yang sama ada satu juta orang
melakukan bunuh diri, atau 1 orang setiap 40 detik. Bunuh diri juga
merupakan salah satu penyebab utama kematian pada usia 14-34 tahun, di
luar kecelakaan.
Para pelaku bunuh diri, seperti juga
banyak dari kita bila berada dalam suatu “situasi sulit”, pasti
menganggap bahwa dengan meninggalkan dunia, mereka akan lepas dari beban yang ada. Anggapan itu normal saja, jika memang hanya muncul sekilas.
Artinya masih dalam intensitas ringan dan kemudian setelah sempat
berpikir lebih panjang, lalu ditemukan alternatif yang lebih dapat
diterima norma.
Bagaimanapun, untuk berkembang kita
pasti melalui saat-saat sulit dan banyak rasa tidak menyenangkan. Dalam
intensitas berat dan tidak ada jalan lain, hal semacam itu akan
menimbulkan depresi. Depresi tidak selalu menimbulkan hasrat bunuh
diri, tetapi kecenderungan bunuh diri selalu didahului perasaan
depresi, rasa tersendiri (isolasi), rasa tak berdaya dengan intensitas
tinggi dan perasaan tidak mampu menjalani hidup. Intervensi terhadap
hasrat bunuh diri selalu mengeksplorasi hal-hal itu.
Dilihat dari sejarah bunuh diri, depresi
hanyalah salah satu sebab saja. Masih ada sebab-sebab lain, yaitu
keyakinan agama (bom bunuh diri); patriotisme (meledakkan diri di
antara musuh); keyakinan budaya dan kehormatan (harakiri), medik
(putus-asa karena penyakit), genetik (kakek-paman-putri dan Hemingway
sendiri melakukannya), protes dan perlawanan sosial (bakar diri melawan
rezim yang berkuasa) dan ritual pembebasan (bunuh diri ramai-ramai
oleh anggota sekte suatu agama) .
Sering alasan itu sangat subjektif dan
sulit dimengerti akal sehat. Sebetulnya kalau para pelaku itu mencari
orang lain untuk diajak membicarakan persoalannya (sehingga tidak ada
rasa lonely, tersendiri), pasti keinginannya untuk memilih
mati tidak akan ada. Toh, kalau kita baca catatan mereka yang selamat
dari zaman Pol Pot di Kamboja dulu atau dari kamp Auswitz, atau ketika
bom atom pertama jatuh di Hiroshima-Nagasaki – ketika para korban
dengan kulit tersayat terpanggang panas yang meruyak – mereka tetap
memilih untuk hidup di saat penderitaan seakan mencapai puncak. Atau
karena saat itu di udara sedang beredar aroma perang melawan musuh,
sehingga “rasa patriotisme” mendukung keinginan untuk tetap hidup
dengan tegar ?
Kalau mengikuti alur pikiran
ini, berarti mereka yang memilih bunuh diri daripada dengan tegar
menghadapi kondisi yang menimpanya adalah mereka yang tidak mempunyai
“rasa patriotisme” (terhadap diri sendiri !) dan sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan, dan lebih memilih “menyakiti diri” daripada
menghadapinya.
Dua Faktor
Untuk mengerti mengapa orang melakukan bunuh diri minimal ada dua faktor yang harus dilihat. Pertama, faktor predisposisi, yang memberi kecenderungan atau menjadi sebab, dan kedua, faktor pemicu (trigger), yang menyebabkan situasi ingin bunuh diri tersebut jadi terlaksana. Robert Firestone dalam buku Suicide and the Inner Voice
(1997) menulis bahwa mereka yang mempunyai kecenderungan kuat untuk
bunuh diri banyak yang lingkungan terkecilnya tidak memberi rasa aman,
lingkungan keluarga yang menolak, tidak hangat, sehingga anak yang
dibesarkan di dalamnya merasakan kebingungan dalam menghadapi kehidupan
sehari-hari. Itulah faktor predisposisi, yang kalau diterapkan ke dalam
situasi saat ini, faktor ini bisa berupa kondisi ekonomi yang memburuk
(buat beberapa orang malah sangat menghimpit) atau kondisi hubungan
antarmanusia yang hanya berlandaskan hal-hal formal saja. Dalam situasi
seperti ini pun, kata Kristi Purwandari dari Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, dapat membuat mereka yang dibesarkan dalam
keluarga normal dan baik-baik dapat menjadi kehilangan orientasi ke masa
depannya.
Orang akan jadi melakukan tindakan bunuh diri kalau faktor kedua, trigger-nya,
memungkinkan. Tidak mungkin ada tindakan bunuh diri yang muncul
tiba-tiba, tanpa ada faktor predisposisi sama sekali. Akumulasi
persoalan fase sebelumnya akan terpicu oleh suatu peristiwa tertentu.
Misalnya, ketika Awang menemukan seragam
pramukanya masih basah, padahal sudah harus dipakai. Atau ketika si
anak TK dimarahi. Situasi yang kelihatan sepele ini langsung
menggerakkan tindakan mengakhiri hidup, yang pada waktu-waktu
sebelumnya sudah mereka anggap sebagai jalan pembebasan dari hal yang
menimpa dan membebani.
Suatu cerita lucu pernah ada saat
seseorang yang akan bunuh diri dengan insektisida, uangnya lebih ketika
membeli racun serangga itu. Pemilik warung menawarkan kue karena tidak
ada kembalian. Dia menerimanya dan memakannya. Tak mau rugi, bahkan
pada saat-saat terakhir hidupnya?
Yang dapat kita tangkap dari peristiwa
itu adalah bahwa sebenarnya kalau ada intervensi pada saat itu,
tindakan bunuh diri tidak akan jadi dilakukan. Dan memang itulah yang
dilakukan para konsultan jika menghadapi orang yang berniat bunuh diri.
Ada yang mengatakan bahwa tidaklah mengkhawatirkan kalau sempat ada
ancaman,”Saya mau bunuh diri, nih !” – karena itu berarti yang
bersangkutan sedang menimbang-nimbang untuk melakukannya. Orang semacam
itu sebetulnya sedang meminta kepada yang diajak bicara supaya diberi
perhatian atau didengarkan keluhannya.
Memang, minimal keinginan untuk
didengarkan dan untuk mendapat perhatian, itulah yang mereka butuhkan.
Kalau itu yang terjadi, maka mereka merasa bahwa ada penerimaan diri
oleh pihak lain dan di saat itu si calon pelaku bunuh diri dapat diberi
pandangan lain mengenai permasalahan yang dihadapinya. Pandangan lain
semacam ini biasanya dapat menyebabkan mereka berubah pandangan dan
tidak lagi menganggap bahwa mengakhiri hidup adalah satu-satunya solusi
bagi persoalannya.
Widyarto Adi Ps, Psikolog, Trainer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar