Kamis, 15 November 2012

10 Gangguan Kesehatan Yang Dicemaskan Kaum Pria




Semakin bertambahnya usia bagi setiap orang, maka akan membuat mereka mencemaskan beberapa hal. Tak hanya wanita, ternyata pria juga takut menjadi tua.

Biasanya, orang takut menjadi tua karena kondisi tubuh sudah menurun dan berisiko akan terkena beberapa penyakit tertentu terkait usia. Hal ini juga berlaku bagi kaum pria. Meskipun terlihat cuek, pria tetap mencemaskan risiko yang akan dialami dengan semakin menuanya tubuh mereka.

10. Kebocoran urin
Ternyata beser atau tidak bisa menahan buang air kecil tak hanya masalah bagi wanita. Sering terjadi, air kemih keluar begitu saja (bocor) tanpa dapat mereka kontrol karena pembesaran prostat, operasi prostat atau hal lain.

9. Kehilangan massa otot
Pria selalu ingin dianggap kuat dan bisa melakukan segala hal. Survei dari American Geriatrics Society Foundation didapatkan 9 dari 10 laki-laki merasa lemah dan tergantung dengan orang lain sebagai salah satu bagian yang paling ditakuti jika menjadi tua.

Alasan utama mengapa pria mulai kehilangan massa otot adalah bertambahnya usia dan penyakit. Pria manula yang menderita diabetes tipe 2 dapat kehilangan kekuatan otot-otot mereka hingga 50 persen lebih cepat dibandingkan dengan orang yang seusianya dan sehat.

8. Osteoporosis
Walaupun osteoporosis sering terjadi pada wanita pasca menopause, ternyata pria bisa juga mengalami penyakit pengeroposan tulang ini. Sama seperti wanita, ostreoporosis pada pria juga terjadi karena bertambahnya usia. Namun, kebiasaan merokok, jarang berolahraga, mengonsumsi obat tertentu, dan menderita penyakit tertentu ternyata juga menjadi faktor risiko osteoporosis pada pria.

7. Depresi
Kaum pria biasanya jarang mengungkapkan perasaan atau emosi yang tengah dialaminya. Terlebih lagi sebagai kepala rumah tangga, para pria juga menanggung beban lain, seperti masalah pekerjaan atau masalah keluarga. Tak jarang hal tersebut memicu timbulnya stres dan depresi. Depresi menyebabkan penderitanya mengalami serangkaian perubahan fisik dan emosional. Umumnya, penderita depresi akan kesulitan berpikir, kesulitan menyelesaikan masalah, berbicara, bergerak dengan lambat karena merasa lelah, perubahan pola tidur, gangguan di perut atau punggung bahkan disfungsi seksual.

6. Terjatuh
Banyak pria di usia lanjut usia dengan mudah terjatuh karena keseimbangan tubuh mereka tidak lagi optimal. Jika Anda tak ingin menggunakan kursi roda saat memasuki usia paruh baya, maka rutin berolahraga dan selalu menggerakkan badan bagi pria berusia lanjut bisa menjaga keseimbangan tubuh. Selain itu, penelitian di Swiss menyarankan untuk mengonsumsi makanan dan suplemen vitamin D serta berjemur di pagi hari secara teratur, dapat mengurangi risiko untuk terjatuh.


5. Kehilangan Pendengaran
Gangguan pendengaran adalah hal yang normal dari proses penuaan untuk semua orang, namun pria lebih rentan mengalami gangguan pendengaran dibanding wanita. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa viagra dan obat impotensi berpotensi menyebabkan kehilangan pendengaran mendadak. Tak hanya itu, riset lain di Amerika juga menungkapkan pria perokok berisiko tinggi mengalami masalah pendengaran.

4. Gangguan Penglihatan

Penelitian yang ditemukan di Amerika menunjukkan bahwa pria lebih cenderung mengalami penurunan penglihatan jika dibandingkan dengan wanita, akibat tekanan yang mereka alami pada otak. Penelitian lain dari peneliti University of Melbourne menemukan bahwa menumpuknya lemak di perut pada usia paruh baya secara signifikan dapat meningkatkan risiko kebutaan di kemudian hari.

3. Efek samping pengobatan
Kita tak pernah tahu, penyakit apa yang akan kita derita dalam hidup kita, sehingga mengharuskan kita mengonsumsi obat tertentu. Setiap jenis obat, baik yang dibeli secara bebas ataupun memakai resep, pada dasarnya memiliki efek samping. Efek samping dari pengonsumsian obat tertentu biasanya berkaitan dengan masalah pada sistem pencernaan, terutama mual, sering buang gas dan merasa tidak nyaman pada perut.

Beberapa jenis obat, ternyata memiliki efek samping yang cukup aneh. Misalnya, pasien kanker yang mengonsumsi obat jenis capecitabine dilaporkan mengalami efek samping langka berupa hilangnya sidik jarinya. Sementara, penderita hipertensi dan gagal jantung diresepkan obat Vasotec yang menyebabkan efek samping berupa hilangnya kemampuan indera penciuman.

2. Pikun
Berdasarkan penelitian dari Mayo Clinic pada September 2010 yang dimuat dalam jurnal Neurology menuturkan bahwa pria lebih rentan mengalami kerusakan kognitif ringan atau kadang disebut dengan pre-Alzheimer. Penelitian terbaru yang dimuat dalam American Academy of Neurology journal juga mendukung temuan sebelumnya yang menemukan bahwa pria kemungkinan lebih berisiko mengalami penurunan kognitif ringan (MCI) dibandingkan dengan wanita.

1. Penurunan Gerak
Penurunan fungsi gerak menjadi hal yang ditakuti pria karena dapat mengganggu mobilisasi dan produktivitasnya. Gangguan kesehatan, seperti pengeroposan tulang (osteoporosis) dan radang sendi (osteoartritis) bisa membatasi gerak dan mobilitas bagi pria.

Alasan Bunuh Diri

Robert Firestone dalam buku “Suicide and the Inner Voice” menulis bahwa mereka yang mempunyai kecenderungan kuat untuk bunuh diri, banyak yang lingkungan terkecilnya tidak memberi rasa aman, lingkungan keluarga yang menolak, tidak hangat, sehingga anak yang dibesarkan di dalamnya merasakan kebingungan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. 


KALAU kita cermati, tiga tahun terakhir ada hal yang cukup membuat giris, menyangkut jumlah orang (bahkan anak!) yang melakukan tindakan mengakhiri hidup. Ketika mencari data dari pemberitaan sebuah koran selama 2005, ada 70 berita tentang bunuh diri di Indonesia, dengan 73 korban. Isinya beragam. Ada polisi mencabut nyawanya sendiri pascamenembak temannya, ada yang terjun bebas dari ketinggian, pertengahan bulan lalu malah Awang Aditya (10), siswa kelas IV SD, menggantung diri lantaran seragam pramuka yang akan dipakainya ke sekolah masih basah! Yang cukup menggemparkan ketika medio Mei, seorang anak TK, 5 tahun 8 bulan, kedapatan tewas menggantung diri sehabis dimarahi.
Itu baru dari satu koran. Sebuah laporan menyebutkan di Indonesia ada 112 kasus bunuh diri pada tahun 2003 dan Badan kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pada tahun yang sama ada satu juta orang melakukan bunuh diri, atau 1 orang setiap 40 detik. Bunuh diri juga merupakan salah satu penyebab utama kematian pada usia 14-34 tahun, di luar kecelakaan.

Para pelaku bunuh diri, seperti juga banyak dari kita bila berada dalam suatu “situasi sulit”, pasti menganggap bahwa dengan meninggalkan dunia, mereka akan lepas dari beban yang ada. Anggapan itu normal saja, jika memang hanya muncul sekilas. Artinya masih dalam intensitas ringan dan kemudian setelah sempat berpikir lebih panjang, lalu ditemukan alternatif yang lebih dapat diterima norma.
Bagaimanapun, untuk berkembang kita pasti melalui saat-saat sulit dan banyak rasa tidak menyenangkan. Dalam intensitas berat dan tidak ada jalan lain, hal semacam itu akan menimbulkan depresi. Depresi tidak selalu menimbulkan hasrat bunuh diri, tetapi kecenderungan bunuh diri selalu didahului perasaan depresi, rasa tersendiri (isolasi), rasa tak berdaya dengan intensitas tinggi dan perasaan tidak mampu menjalani hidup. Intervensi terhadap hasrat bunuh diri selalu mengeksplorasi hal-hal itu.
Dilihat dari sejarah bunuh diri, depresi hanyalah salah satu sebab saja. Masih ada sebab-sebab lain, yaitu keyakinan agama (bom bunuh diri); patriotisme (meledakkan diri di antara musuh); keyakinan budaya dan kehormatan (harakiri), medik (putus-asa karena penyakit), genetik (kakek-paman-putri dan Hemingway sendiri melakukannya), protes dan perlawanan sosial (bakar diri melawan rezim yang berkuasa) dan ritual pembebasan (bunuh diri ramai-ramai oleh anggota sekte suatu agama) .
Sering alasan itu sangat subjektif dan sulit dimengerti akal sehat. Sebetulnya kalau para pelaku itu mencari orang lain untuk diajak membicarakan persoalannya (sehingga tidak ada rasa lonely, tersendiri), pasti keinginannya untuk memilih mati tidak akan ada. Toh, kalau kita baca catatan mereka yang selamat dari zaman Pol Pot di Kamboja dulu atau dari kamp Auswitz, atau ketika bom atom pertama jatuh di Hiroshima-Nagasaki – ketika para korban dengan kulit tersayat terpanggang panas yang meruyak – mereka tetap memilih untuk hidup di saat penderitaan seakan mencapai puncak. Atau karena saat itu di udara sedang beredar aroma perang melawan musuh, sehingga “rasa patriotisme” mendukung keinginan untuk tetap hidup dengan tegar ?
Kalau mengikuti alur pikiran ini, berarti mereka yang memilih bunuh diri daripada dengan tegar menghadapi kondisi yang menimpanya adalah mereka yang tidak mempunyai “rasa patriotisme” (terhadap diri sendiri !) dan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, dan lebih memilih “menyakiti diri” daripada menghadapinya.

Dua Faktor
Untuk mengerti mengapa orang melakukan bunuh diri minimal ada dua faktor yang harus dilihat. Pertama, faktor predisposisi, yang memberi kecenderungan atau menjadi sebab, dan kedua, faktor pemicu (trigger), yang menyebabkan situasi ingin bunuh diri tersebut jadi terlaksana. Robert Firestone dalam buku Suicide and the Inner Voice (1997) menulis bahwa mereka yang mempunyai kecenderungan kuat untuk bunuh diri banyak yang lingkungan terkecilnya tidak memberi rasa aman, lingkungan keluarga yang menolak, tidak hangat, sehingga anak yang dibesarkan di dalamnya merasakan kebingungan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Itulah faktor predisposisi, yang kalau diterapkan ke dalam situasi saat ini, faktor ini bisa berupa kondisi ekonomi yang memburuk (buat beberapa orang malah sangat menghimpit) atau kondisi hubungan antarmanusia yang hanya berlandaskan hal-hal formal saja. Dalam situasi seperti ini pun, kata Kristi Purwandari dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dapat membuat mereka yang dibesarkan dalam keluarga normal dan baik-baik dapat menjadi kehilangan orientasi ke masa depannya.
Orang akan jadi melakukan tindakan bunuh diri kalau faktor kedua, trigger-nya, memungkinkan. Tidak mungkin ada tindakan bunuh diri yang muncul tiba-tiba, tanpa ada faktor predisposisi sama sekali. Akumulasi persoalan fase sebelumnya akan terpicu oleh suatu peristiwa tertentu.
Misalnya, ketika Awang menemukan seragam pramukanya masih basah, padahal sudah harus dipakai. Atau ketika si anak TK dimarahi. Situasi yang kelihatan sepele ini langsung menggerakkan tindakan mengakhiri hidup, yang pada waktu-waktu sebelumnya sudah mereka anggap sebagai jalan pembebasan dari hal yang menimpa dan membebani.
Suatu cerita lucu pernah ada saat seseorang yang akan bunuh diri dengan insektisida, uangnya lebih ketika membeli racun serangga itu. Pemilik warung menawarkan kue karena tidak ada kembalian. Dia menerimanya dan memakannya. Tak mau rugi, bahkan pada saat-saat terakhir hidupnya?

Yang dapat kita tangkap dari peristiwa itu adalah bahwa sebenarnya kalau ada intervensi pada saat itu, tindakan bunuh diri tidak akan jadi dilakukan. Dan memang itulah yang dilakukan para konsultan jika menghadapi orang yang berniat bunuh diri. Ada yang mengatakan bahwa tidaklah mengkhawatirkan kalau sempat ada ancaman,”Saya mau bunuh diri, nih !” – karena itu berarti yang bersangkutan sedang menimbang-nimbang untuk melakukannya. Orang semacam itu sebetulnya sedang meminta kepada yang diajak bicara supaya diberi perhatian atau didengarkan keluhannya.
Memang, minimal keinginan untuk didengarkan dan untuk mendapat perhatian, itulah yang mereka butuhkan. Kalau itu yang terjadi, maka mereka merasa bahwa ada penerimaan diri oleh pihak lain dan di saat itu si calon pelaku bunuh diri dapat diberi pandangan lain mengenai permasalahan yang dihadapinya. Pandangan lain semacam ini biasanya dapat menyebabkan mereka berubah pandangan dan tidak lagi menganggap bahwa mengakhiri hidup adalah satu-satunya solusi bagi persoalannya.

Widyarto Adi Ps, Psikolog, Trainer 

Bunuh Diri Masal Terburuk Di Dunia


1. The People’s Temple

Didirikan pada akhir tahun 1970-an, di bawah kepemimpinan Jim Jones, aliran pemujaan ini hidup menyendiri terpisah dari dunia di sebuah hutan di Amerika Selatan. Menyusul adanya sejumlah keluhan, pada tahun 1978, anggota kongres Amerika, Leo Ryan, mengunjungi wilayah Jonestown dalam misi pencari fakta. Ketika Ryan akan meninggalkan Jonestown, delapan belas anggota aliran pemujaan yang ingin meninggalkan aliran pemujaan itu mencoba ikut menyertainya, yang sekaligus menjadi saat ketika kekerasan meletus. Anggota aliran pemujaan melepaskan tembakan kepada mereka yang mencoba meninggalkan aliran pemujaan itu. Anggota kongres Ryan, tiga orang wartawan, dan seorang anggota aliran pemujaan yang mencoba lari, terbunuh. Sebelas orang terluka. Beberapa jam setelah kejadian, pemimpin aliran pemujaan memerintahkan anggota-anggotanya untuk melakukan bunuh diri massal dengan meminum potasium sianida. Anak-anak meninggal lebih dulu, bayi dibunuh dengan racun yang dimasukkan ke mulut dengan sedotan. Setelah itu, lebih dari sembilan ratus orang, termasuk anak-anak, meracuni diri mereka sendiri.

2. David Koresh



pada tahun 1990-an, kelompok yang menarik perhatian karena kematian massal adalah aliran pemujaan David Koresh.

Ketika satuan-satuan keamanan bermaksud melakukan pemeriksaan terhadap sebuah tanah pertanian di Texas pada 28 Februari 1993, anggota aliran pemujaan melepaskan tembakan kepada mereka. Pengepungan yang berlangsung selama 51 hari pun dilakukan. Ketika seorang anggota pasukan keamanan mencoba masuk ke dalam pertanian itu pada hari ke-51, asap tiba-tiba mulai mengepul. Pasukan keamanan kemudian mengumumkan bahwa David Koresh telah membakar pertanian, dan berbagai jebakan yang dipasang di berbagai tempat pertanian itu telah mengubah tempat itu menjadi sebuah neraka, di mana sekitar sembilan puluh orang terbakar sampai mati.

3. The Heaven’s Gate



Aliran pemujaan yang menyimpang kembali menjadi berita utama pada tahun 1997, ketika empat puluh orang yang mengenakan kaos hitam dan sepatu olah raga melakukan bunuh diri massal di utara San Diego. Berusia antara 26 dan 72 tahun, mereka telah membunuh dirinya sendiri atas kepercayaan bahwa komet Hale-Bopp, yang saat itu sedang melintasi bumi, akan membawa mereka ke tingkat evolusi yang lebih tinggi. Di bawah ini adalah bagaimana pemikiran mereka dituangkan dalam situs internet mereka,

“Kabar gembira, karena Anggota Tua dalam Tingkat Evolusi di atas manusia telah menjelaskan kepada kami bahwa mendekatnya Halle-Bopp merupakan ‘tanda’ yang telah kami tunggu-tunggu…. Masa 22 tahun di ruangan di bumi akhirnya mendekati akhir ‘kelulusan’ dari Tingkat Evolusi Manusia.

Kami dengan bahagia bersiap untuk meninggalkan ‘dunia ini’ dan pergi bersama awak Ti (Ti merujuk pada Bonnie Lu Trusdale salah seorang pendiri yang meninggal karena kanker pada tahun 1985)