Jumat, 01 Maret 2013

Ciri-Ciri Penyimpangan Sosial

Penyimpangan Sosial
Setiap sistem pengendalian sosial tidak dapat berfungsi secara sempurna, dan disetiap masyarakat pasti selalu saja terdapat beberapa orang yang tidak berperilaku sebagaimana yang diharapkan sekalipun bentuk dan frekuensi timbulnya sikap non-konformis pada setiap masyarakat memiliki banyak perbedaan.

Ciri-Ciri Penyimpangan
1.      Penyimpangan dapat didefinisikan
Tidak ada satu pun perbuatan penyimpangan yang berdiri sendiri. Suatu perbuatan disebut menyimpang apabila perbuatan itu dinyatakan sebagai menyimpang. Becker menerangkan bahwa “penyimpangan bukanlah kualitas dari suatu tindakan yang dilakukan orang, melainkan konsekuensi dari adanya peraturan dan penerapan sangsi yang dilakukan oleh orang lain terhadap pelaku tindakan tersebut. Penyimpang (orang yang menyimpang) adalah seorang yang memenuhi kriteria definisi itu secara tepat. Dengan demikian penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.

2.      Penyimpangan yang diterima dan yang ditolak
Beberapa orang penyimpang, orang jenius, orang suci, pahlawan, mungkin saja dihormati dan dipuja biasanya setelah mereka meninggal dunia, sehingga tidak lagi dapat menimbulkan kekacauan. Para ahli sosiologi belum banyak melakukan studi menyangkut bentuk – bentuk penyimpangan yang diterima.

3.      Penyimpangan yang relatif dan mutlak
Pada masyarakat modern, kebanyakan orang tidak termasuk baik dalam kategori konformis seutuhnya, maupun dalam kategori penyimpang sepenuhnya. Seorang penyimpang sepenuhnya akan mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Hampir semua orang normal sesekali melakukan tindakan menyimpang. Sejumlah penelitian menunjukkan beberapa tindak kejahatan besar, yang bisa menyeret mereka ke pengadilan seandainya segenap peraturan hukum diterapkan. Oleh karena itu, jelaslah bahwa hampir semua orang dalam masyarakat kita merupakan penyimpangan dalam batas – batas tertentu, hanya saja beberapa di antaranya lebih sering melakukan penyimpangan mereka lebih tersembunyi daripada orang lain.

4.      Penyimpangan terhadap budaya nyata atau budaya ideal?
Budaya ideal mencakup kepatuhan terhadap segenap peraturan hukum, namun dalam kenyataannya tidak ada seorang pun yang patuh terhadap segenap peraturan hukum.  Kesenjangan nilai – nilai utama antara budaya ideal (apa yang diucapkan orang) merupakan masalah yang penting. Pada setiap diskusi menyangkut kesenjangan yang dianggap penting tersebut, diperlukan adanya landasan dasar normatif yang berupa budaya ideal atau budaya nyata yang dipegang secara tersirat atau pun secara tegas.

5.      Norma-Norma Penghindaran
Bilamana nilai adat atau peratuan hukum melarang sesuatu perbuatan yang ingin sekali diperbuat oleh banyak orang, maka kemungkinan besar norma – norma penghindaran akan muncul. Norma tersebut merupakan pola perbuatan yang dilakukan orang untuk memenuhi keinginan mereka, tanpa harus menentang nilai – nilai tata kelakuan secara terbuka.

Adanya kenyataan bahwa suatu norma tertentu seringkali dilanggar, tidaklah selamanya menciptakan norma penghindaran. Hanya jika terdapat suatu pola pelanggaan yang diakui dan diberi sangsi oleh suatu kelompok, maka barulah kita memperoleh suatu norma penghindaran.

Kadang – kadang suatu pola penyimpangan tidak sepenuhnya dapat diterima sebagai suatu norma penghindaran, tetapi di lain pihak tidak pula sepenuhnya dapat dicela dan ditekan secara terus menerus. Dalam hal demikian, toleransi terhadap penyimpangan semacam itu dapat berfungsi sebagai suatu bentuk pengendalian sosial.

Jadi, toleransi terhadap penyimpangan, yang disertai dengan ancaman yang memungkinkan dicabutnya hak-hak isitmewa si penyimpang, yang selanjutnya akan diikuti dengan penerapan peraturan dengan sebenar-benarnya, berfungsi untuk mempertahankan pengendalian sosial.

6.      Penyimpangan Bersifat Adaptif
Penyimpangan merupakan suatu ancaman, tetapi juga merupakan alat pemelihaaan stabilitas sosial. Di satu pihak, suatu masyarakat hanya dapat melakukan kegiatannya secara efisien bilamana terdapat ketertiban (keteraturan) dan kepastian dalam kehidupan sosial. Kita harus mengetahui sampai batas – batas tertentu, perilaku apa yang kita harapkan dari orang lain, apa yang mereka inginkan dari orang lain, apa yang mereka inginkan dari kita, dan bagaimana wujud masyarakat yang pantas bagi sosialisasi anak-anak kita.
       
Di lain pihak, perilaku menyimpang merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan sosial. Ledakan penduduk, perubahan teknologi, dan punahnya kebudayaan lokal dan tradisional mengahruskan banyak orang untuk menerapkan norma – norma baru, karen aperubahan teknologi menuntut adanya penyesuaian diri dengan orang yang lebih maju.

Norma baru bermula lahir dari perilaku sehari – hari dari para individu yang memberikan reaksi sama terhadap pengaruh baru dalam kehidupan masyarakat atau dari keberhasilan beberapa kelompok dalam memaksakan peraturan baru terhadap kelompok – kelompok lainnya. Perilaku menyimpang dari beberapa individu bisa saja merupakan awal dari suatu norma baru.

Perilaku menyimpang seringkali merupakan awal dari penyesuaian di masa datang. Tanpa suatu perilaku menyimpang, penyesuaian budaya terhadap perubahan kebutuhan dan keadaan akan menjadi sulit. Oleh karena itu, suatu masyarakat yang mengalami perubahan memerlukan perilaku menyimpang, bilamana masyarakat itu ingin berfungsi secara efisien.

Perilaku pembunuh, penganiaya anak, atau pecandu minuman keras, jarang sekali menunjang berlakunya norma baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Kebanyakan penyimpangan menimbulkan akibat yang merusak bagi seseorang dan masyarakat. Untuk dapat memisahkan antara penyimpangan yang merusak dengan penyimpangan yang bermanfaat bagi masyarakat, memerlukan kemampuan meramal tentang norma sosial yang diperlukan oleh masyarakat hari esok.

Salam, Calon Psikolog

Pengendalian Sosial - Kelompok

Pengendalian Sosial
Para ahli sosiologi menggunakan istilah pengendalian sosial untuk menggambarkan segenap cara dan proses yang ditempuh oleh sekelompok orang atau masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat itu.

Terdapat cara-cara yang dilakukan suatu kelompok atau masyarakat untuk membuat para anggotanya berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkannya.

Pengendalian Sosial Melalui Sosialisasi
Fromm pernah menyatakan bahwa jika suatu kelompok ingin berfungsi secara efisien, maka para anggotanya harus memiliki sifat yang membuat mereka ingin berbuat sesuai dengan apa yang harus mereka lakukan sebagai anggota masyakarat. Mereka harus memperhatikan perbuatan yang secara objektif perlu mereka lakukan.

Orang dikendalikan terutama dengan mensosialisasikan mereka sehingga mereka menjalankan peran sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal tersebut dilakukan melalui penciptaan kebiasaan dan rasa senang. Tahap yang terpenting dalam mempersiapkan peran seseorang adalah upaya mempelajari sikap dan perasaan yang dapat membuat peran itu menjadi menarik. Kegagalan peran dikarenakan seseorang terperangkap dalam peran yang sebenarnya tidak diinginkan dan dinikmati. Sosialisasi membentuk kebiasaan, keinginan, adat istiadat kita. Tata cara dan kebiasaan merupakan penghemat waktu yang hebat. Keduanya membantu kita untuk dapat mengambil sekian banyak keputusan.

Apabila semua anggota masyarakat memiliki pengalaman sosialisasi yang sama maka mereka akan secara suka rela dan tanpa berfikir akan beperilaku sama. Mereka akan menyesuaikan diri dengan harapan-harapan social, tanpa menyadari bahwa mereka sedang melakukan penyesuaian atau adanya pertimbangan yang serius. Seperti adanya hasrat hati sepasang kekasih yang ingin melakukan perkawinan lebih didorong karena adanya faktor keinginan untuk menyesuaikan diri dengan pola keluarga batih yang monogram. Daripada oleh faktor akademis. Begitulah yang disebut konformitas. Melalui sosialisasi, seseorang akan menghayati norma-norma, nilai-nilai, dan hal-hal yang tabu dalam masyarakatnya. Menghayati semua hal tersebut berarti menjadikannya bagian perilaku otomatis yang dilakukan tanpa pikir. Jadi, tidak ada kemungkinan untuk melanggar norma atau aturan, kalaupun dia sungguh-sungguh tergoda, maka hati kecilnya akan mencegah pelanggaran tersebut. Keadaan itu yang akan terjadi pada masyarakat yang memiliki kebudayaan yang stabil dan utuh, dimana masyarakat yang mempunyai konsensus (kesepakatan).

Pengendalian Sosial Melalui Tekanan Sosial
Lapiere melihat pengendalian sosial terutama sebagai proses yang lahir dari kebutuhan individu akan penerimaan kelompok. Ia mengatakan bahwa kelompok akan sangat berpengaruh jika anggotanya sedikit dan akrab, jika kita ingin tetap berada dalam kelompok itu untuk jangka waktu yang lama.

Semua ahli sependapat bahwa kebutuhan kita akan penerimaan kelompok merupakan alat penunjang yang paling hebat, yang dapat dipakai untuk menerapkan keinginan kelompok, demi norma norma kelompok.
Tekanan keinginan kelompok ini sebagai suatu proses yang berkesinambungan dan sebagian besar berlangsung tanpa disadari. Proses tersebut digambarkan oleh kehidupan salah seorang kenalan pengarang.
Para ahli psikologi sosial telah melakukan eksperimen klasik yang membuktikan bahwa seseorang cendrung mengekspresikan pernyataan pribadi yang seirama dengan pandangan kelompoknya. Dalam serenten eksperimen yang jitu , Asch , Tuddenham, dan beberapa orang lainnya membuktikan bahwa banyak orang bahkan lebih senang mengubah pandangan yang sudah mereka tahu benar daripada menentang pandangan kelompok.

Eksperimen juga membuktikan bahwa anggota yang pandangnya sangat menyimpang dari norma norma kelompok akan ditolak oleh kelompoknya.
Konformitas yang seksama merupakan alat untuk memperoleh penerimaan dan status dalam kelompok , sebaliknya penolakan kelompok merupakan akibat dari sikap yang non-konformis.
1.      Pengendalian Kelompok yang Informal Primer
Kelompok primer adalah kelompok yang kecil, akrab, dan besifat informal, seperti keluarga, kelompok bermain, dan sebagainya. Pengendalian dalam kelompok primer terjadi secara informal, spontan, dan tanpa direncanakan. Para anggota kelompok bereaksi terhadap perilaku sesamanya. Bilamana seorang anggota menyakiti atau menyinggung perasaan para anggota lainnya, maka mereka itu mungkin saja akan menunjukkan perasaan ketidaksenangannya dengan cara mengejek, menertawai, mengeritik, atau bahkan menyisihkan anggota tersebut dari pergaulan. Bilaman perilaku seorang anggota menyenangkan, maka imbalan yang biasa diterimanya ialah “perasaan diterima” yang menyenangkan.  

2.      Pengendalian Kelompok Sekunder
Kelompok sekunder pada umumnya lebih besar, lebih impersonal, dan mempunyai tujuan yang khusus. Kita tidak menggunakan kelompok semacam itu untuk memenuhi kebutuhan kita akan hubungan yang intim dan manusiawi, tetapi untuk membantu kita dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Jika kelompok sekunder tidak dapat memenuhi kebutuhan kita, maka pada umumnya kita dapat saja menarik diri tanpa kesedihan yang mendalam, karena keterlibatan emosi kita terhadapnya tidaklah mendalam. Biasanya kelompok sekunder merupakan lembaga pengendali yang lebih lemah daripada kelompok primer.

Kelompok sekunder masih merupakan alat pengendali yang efektif. Beberapa bentuk pengendalian informal masih berperan dalam kelompok sekunder. Tidak ada seorang pun yang ingin tampak ganjil pada pertemuan serikat kerja, perkumpulan rohani di Gereja, atau pada acara makan malam kamar dagang, Pengendalian informal seperti ejekan, tawa, perguncingan (gosip), dan pengucilan berperan dalam lingkungan kelompok sekunder, namun pada umumnya pengaruhnya sudah berkurang. Pengendalian yang lebih formal merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh kelompok sekunder, misalnya, peraturan resmi dan tata cara yang distandardisasi, propaganda, hubungan masyarakat, rekayasa manusia (hukum engineering), kenaikan golongan (pangkat) dan pemberian gelar, imbalan dan hadiah, sangsi dan hukuman formal, dan sebagainya.

3.      Bahasa sebagai Alat Pengendali
Bahasa merupakan suatu alat untuk menggambarkan kenyataan, dan perubahan dalam penggunaan bahasa dapat mengubah cara pandang orang terhadap kenyataan. Hal seperti itulah yang disebut oleh penganut paham interaksi simbolis sebagai ‘konstruksi kenyataan sosial’. Suatu redefinisi, yang memberikan arti baru terhadap kata-kata lama, dapat mengakibatkan lahirnya redefinisi sikap dan jalinan hubungan.

4.      Pengendalian Sosial Komunis
Pengendalian sosial secara formal di negara-negara barat yang demokratis banyak ditentukan oleh undang-undang tertulis, persidangan-pengadilan, dasn pemberian hukuman berdasarkan hukum yang berlaku. Pengendalian sosial di republik China tidak banyak ditentukan oleh undang-undang, RRC menggunakan penuh indoktrinasi secara terus-menerus, pengendalian penuh terhadap media komunikasi, dan sangsi keras bilamana perlu, dan andalan utamanya adalah tekanan kelompok. Pengendalian sosial di China memang efektif, namun cenderung kejam. Orang tidak diberi hak untuk menyalurkan pendapat, keinginan, dan mempunyai tujuan lain yang tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan secara resmi. Seseorang yang menentang akan diberi hukuman yang bervariasi dari penolakan kelompok, penolakan pemberian pekerjaan, penolakan pemberian tempat tinggal sampai penempatan pada ‘pusat pendidikan ulang’ sampai orang itu mengalah atau meninggal.

Pengendalian Sosial Melalui Kekuatan
Banyak masyarakat primitive berhasil mengendalikan perilaku para individu dengan menggunakan nilai-nilai adat, yang ditunjang oleh pengendalian informal dari kelompok primer. Oleh karena itu, tidak lagi diperlukan hukuman formal dan pelaksanaan hukuman. Namun, pada masyarakat yang memiliki penduduk dengan jumlah yang besar  dan kebudayaan yang lebih kompleks, diperlukan pemerintahan formal, peraturan hukum dan pelaksanaan hukuman.

Bilamana seseorang tidak mau menaati peraturan, maka kelompok akan mencoba memaksanya untuk taat pada peraturan tersebut. Namun, pada kelompok yang besar keberadaan individu terlalu sulit untuk dapat di kendalikan oleh tekanan kelompok secara informal. Di samping itu, pada masyarakat yang besar dan berkebudayaan kompleks, beberapa kebudayaan khusus mungkin saja bertentangan dengan budaya orang banyak, ‘kesepakatan normal’ – persetujuan yang hampir sempurna terhadap apa yang dianggap benar dan salah – yang biasanya di temukan pada masyarakat kecil yang berkebudayaan stabil, jarang ditemukan pada masyarakat benar yang kebudayaannya selalu mengalami perubahan. Dalam masyarakat besar seperti itu, orang yang menentang norma-norma kelompok mayoritas mungkin saja akan  mendapat dukungan emotional dari kelompoklain yang berpandangan dan bertindak sama dengan orang itu (salah satu contoh ilah masyarakat Amish, kelompok masyarakat hipis, atau kelompok kebudayaan khusus kaum homo seks) itulah sebabnya masyarakat konvensional kadang-kadang menggunakan kekuatan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal demi memaksakan teriptanya kadar konformitas minimum yang diperlukan. Kekuatan itu tidak selamanya berhasil, namun tetap dipergunakan pada setiap masyarakat kompleks

salam, calon psikolog

Kawruh Jiwa dalam Kebudayaan Jawa - Psikologi Timur

Kawruh Jiwa dalam Kebudayaan Jawa
Kebudayaan Jawa itu tidak homogen apalagi monolitik. Itu sebabnya Von Magnis (1984), menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan orang Jawa sesungguhnya adalah suatu konsep kontruksi teoritis, dan tidak menunjukan kepada kelompok orang perorangan tertentu.

Nilai-nilai adalah bagian dari wujud abstrak kebudayaan yang menjadi pedoman bagi perilaku manusia. Keterkaitan antara nilai dengan sikap hidup inilah yang biasa disebut sebagai mentalitas. salah satu sikap yang dianggap menonjol oleh orang Jawa adalah ketergantungannya pada masyarakat, demikian Mudler (1973). Dinyatakan bahwa kepribadian orang Jawa hampir sama sekali bersifat sosial. Seseorang dikatakan baik apabila masyarkatnya menyatakan demikian.
Kawruh Jiwa dalam Keseluruhan Wejangan Ki Ageng Soerjomentaram. Ki Ageng Soerjomentaram dapat dikatakan telah mulai memberikan uraian-uraianya sejak berumur kurang lebih 30 tahun – pada masa Pagoejoeban Selasa Kliwon (1921-1922), sampai saat wafatnya 1962. pada keseluruhan naskah yang telah diterbitkan oleh Idayu – yang dipih dari wejangan-wejangan yang diberikan oleh Ki Ageng selama kurang lebih 40 tahun, nampak jelas penerapan “pengawikan Pribadi” tersebut. Ki Ageng menunjukan betapa kesempurnaan hanyalah idam-idaman, cita-cita, keinginan, pamrih yang justru menghalangi tubuhnya manusia tanpa ciri
Dalam ilmu pendidikan yang disampaikan sebagai ceramah dalam Kongres Taman Siswa 1932, beliau menyampaikan perlunya kembali menekankan arti pentingnya kebahagian anak sebagai tujuan pendidikan. karenanya pendidikan anak perlu memusatkan perhatian untuk membantu anak agar supaya berpikir dan mengerti secara sadar. Dalam wejangan-wejangan tersebut, nmapaklah dengan jelas penekananakan perlunya Pengawikan Pribadi.
Salah satu penerapan “Pengawikan Pribadi” tersebut adalah membicarakan tentang kesempurnaan, Ki Ageng menunjukan betapa kesempurnaan hanyalah idam-idaman, cita-cita, keinginan, pamrih yang justru menghalangi tumbuhnya manusia tanpa ciri. Bermacam-macam usaha yang dilakukan orang untuk menjadi sempurna di buka kedoknya oleh Ki Ageng sebagai takhayul. Misalnya puasa ngalong di gua-gua dll. Dalam jimat perang, KI Ageng membuka kedok usaha-usaha orang untuk menjadi sakti dengan ajimat-ajimat sebagai takhayul.
Ki Ageng menunjukan betapa keberanian dan ketabahan itu hanya dapat diperoleh dengan mawas diri, membebaskan diri, termasuk kepentingan untuk menjadi pahlawan. Hal ini agaknya berpadanan dengan apa yang diajukan oleh Sosrokarnoto: “sepi ing pamrih, tebih ing ajrih”. Dalam jiwa persatuan, Ki Ageng kembali menunjukan bahwa bersatu, jujur, cinta, guyub akan menumbuhkan rasa enak, puas dan cukup. Dalam Rasa Unggul inilah Ki Ageng menganjurkan supaya orang tidak selalu ngangsa-angsa, ngaya-ngaya, dan berpedoman “enam-sa”, yakni: Sakbutuhe, Saperlune, Sacukupe, Sakepenake, Samestine, Sabenere.

Kawruh Jiwa Kramadangsa
         Substansi Kawruh Jiwa
Nama Ilmu Jiwa Kramadangsa diambil dari buku yang diberi judul demikian. Buku tersebut merupakan bahan ceramah Ki Ageng Soerjomentaram bersama Ki Pronowowidigdo di Yayasan Hidup Bahagia di Jakarta pada tahun 1959. Namun keseluruhan dari wejangan-wejangan Ki Ageng yang semula diberi nama “Kawruh begja” atau Kawruh Jiwa”. Kramadangsa adalah sekedar nama. Istilah ini dimaksud oleh Ki Ageng sebagai rasa pribadi yang identik denagn namanya sendiri.

Tiga pokok penting akan dicoba diuraikan di bawah ini yang pertama adalah tentang rasa, yang kedua tentang Aku (Kramadangsa), serta ketiga mawas diri.
1.      Rasa
“Wong Jawa iku nggone rasa,” demikian sebuah ungkapan yang sangat dikenal di kalangan masyarakat Jawa. Suseno (1983) menjelaskan; ‘Dalam bahasa aslinya, yaitu Sansekerta, “rasa” mempunyai berbagai arti. Arti     pokoknya ialah “air” atau “sari” buah-buahan atau tumbuhan. Dari situ rasa lalu     berarti pengecapan (taste), perasaan (perasaan cinta, marah, belas kasihan,     kemesraan); lalu rasa juga berarti “inti”, “suara suci OM” yang adalah pernyataan     kodrat ilahi. Bagi para pujangga rasa berarti kenikmatan terdalam (delight, charm)     sedangkan rasa dari suatu karya sastra ialah “inti dasarnya yang halus dan dalam”    (keynote).’

Dalam kepustakaan Jawa, agaknya rasa dipahamkan sebagai substansi atau zat yang mengalir alam sekalir artinya ia berupa pertemuan antara jagad gedhe dan jagad cilik. Terkadang ia muncul sebagai daya hidup. Sementara Ki Ageng Soerjomentaram sendiri berpendapat, bahwa hanya dengan jalan mentransendensasikan rasa bertentangan inilah manusia dapat mengembangkan rasa yang lebih tinggi, yakni rasa bebas. Ki Ageng juga berpendapat bahwa orang baru merasa ‘ada’ apabila ia berhubungan dengan orang lain, dengan benda atau rasanya sendiri.Rasa bertindak-tanduk dalam gagasan dan pikiran, misalnya rasa marah akan menimbulkan pikiran untuk mencelakakan orang lain. Rasa unggul muncul dalam gagasan untuk ngaya-aya mencari drajat, semat, keramat. Rasa Kramadangsa adalah rasa namanya sendiri, ketika seseorang dipanggil menurut namanya.

Kita mengenal hirarki rasa, muali dari yang paling wadhag, berhubungan dengan badan kasar, badan halus, dan roh. Demikianlah kita kenal: Rasa Pangrasa, yakni rasa badan wadhag, seperti yang dihayati seseorang melalui indranya: rasa pedas, manis, gatal dsb. Juga rasa yang hadir kebadan seseorang, seperti misalnya rasa sakit, rasa enak.

Rasa Rumangsa, yakni rasa eling, rasa cipta, rasa grahita, misalnya ketika seseorang menyatakan bahwa Kramadangsa telah “ngrumangsani kaluputane” atau “rumansa among titah, Kramadangsa among saos sukur”.

Rasa Sejati, yakni rasa yang masih mengenal rasa yang merasakan, dan rasa dirasakan. Sudah manunggal, tetapi masih disebut. Rasa damai, rasa bebas dll.
Sejatining Rasa, yakni Rahsa, yang berarti hidup itu sendiri abadi.

Demikianlah kita melihat ada rasa hidup, rasa tanggapan, rasa catatan, rasa aku serta bebas yang berhubung-hubungan secara prosesual menembus keempat dimensi kehidupan; tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia serta manusia tanpa ciri.

2.      Aku Kramadangsa.
Kita lihat bahwa kepribadian manusia Jawa terutama dibetuk dari interaksinya dengan lingkungan luar (kenyataan), serta lingkungan dalam (kasunyatan). Sementara Reksosusilo (1983) menunjukan bahwa ‘aku’nya orang Jawa tidak pernah tunggal individual.

Kramadangsa adalah nama orang. Ilmu Jiwa Kramadangsa adalah ilmu jiwa mengenai orang yang bernama Kramadangsa. Kita sendiri adalah orang; jadi mempelajari Ilmu Jiwa Kramadangsa adalah mempelajari diri sendiri.

Manusia adalah juru catat. Melalui panca indera ia menciptakan segala macam kenyataan dalam rasanya. Peran sebagai juru catat adalah peranan dalam ukuran kesatu. Catatan-catatan ini hidup apabila mendapat perhatian dari si juru catat. Dari catatan-catatan ini muncul rasa “Kramadangsa”, rasa aku dengan namanya sendiri.

Karamadangsa mengawasi tindak-tanduknya sendiri. Dalam perhubungan dengan orang lain, orang merasakan perasaan orang lain dalam rasanya sendiri. Kramadangsa perlu membedakan rasanya sendiri, dengan rasa orang lain. Orang adalah barang asal. Sebagai barang asal, ia adalah juru catat pengalamna-pengalamanya. Dalam bangunan asal ini, ada “ada” yang pra-personal, terkadang disebut pra-self. Rasa aku dilahirkan dari rasa catatan-catatan ini, baik jumlah, ragam maupun susunannya.

Sehingga dalam diri manusia ada dua kau, yakni aku tak tetap dan aku tetap. Aku tak tetp ini mengahdirkan diri sesuai dengan keinginan-keinginannya. Aku tetap adalah aku universal, yang telah bebas dari catatan-catatannya sendiri bahkan bisa mengawasi diri sendiri. Manusia tanpa cirilah yang menjadi sebab kenapa manusia mampu membebaskan diri dari keinginan-keinginan yang tanpa batas.

3.      Mawas Diri
Mawas diri telah menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari kebudayaan Jawa, baik dalam tradisi mitis maupun etis. Sekalipun perlu diingat bahwa hampir semua kepustakaan Jawa keterkaitan antara tradisi etis dan mistis adalah sangat erat.  Mawas Diri adalah tahap integrasi diri di mana egoisme dan egosentrisme diganti dengan sepi ing pamrih (Rahmat Subagyo, 1983.

Mawas diri pada dasarnya adalah meneliti rasa sendiri. Apabila meneliti diri sendiri sampai tuntas, maka orangakan mencapai manusia tanpa ciri. Mawas diri adalah kegiatan manusia dalam dataran psikologi, menembus ke dataran religius etis. Mawas diri dimulai dengan meneliti rasa senang dan rasa susahnya sendiri; yakni rasa orang dalam perhubungannya dengan benda, orang lain serta gagasan.

Secara khusus, mawas diri dilaksanakan dalam hubungan Kramadangsa dengan orang lain. Dengan meniliti rasa sendiri, rasa orang lain dalam rasanya sendiri, orang akan dapat memilahkan rasanya sendiri dengan rasa orang lain. Terkadang dalam usahanya  mawas diri juga mengalami hambatan. Pamrih untuk mencampai kesempurnaan dalam hidup, justru menjadi hambatan utamanya. Terkadang dalam usaha untuk menjadi sempurna, orang sering tergoda untuk memperoleh ilham, wahyu, atau anugerah lain yang membuat ia menjadi sempurna. 

Sebenarnya tidak semua mawas diri punya bau mistik yang keras. Kitab jayengbaya dari Ki Sarataka, nama Raden Ngabehi Ronggowarsito semasa muda, dengan penuh humor melakukan mawas diri. Ia membayangkan diri menjadi orang lain, menimbang-nimbang susah-senangnya, sampai akhirnya dia sampai pada kesimpulan bagaimanapun juga lebih enak jadi diri sendiri.

Mawas diri telah menjadi bagian dari akal sehat masyarakat Jawa untuk masa yang lama. Dalam kepustakaan Kebatinan, istilah ini juga dikenal sangat luas. Brataksewa (lihat Darminta, 1980), misalnya menytakan adanya tingkatan-tingkatan kualitas pengkajian diri ini:
1.      Nanding sarira, di mana seseorang membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain an mendapatkannya dirinya lebih unggul.
2.      Ngukur sarira, di mana seseorang mengukur orang lain dengan dirinya sendiri sebagai tolak ukur.
3.      Tepa sarira, dimana seseorang mau dan mampu merasakan perasaan orang lain.
4.      Mawas diri, dimana seseorang mencoba memahami keadaan dirinya sejujur-jujurnya.
5.      Mulat sarira, lebih dari mawas diri, dimana manusia menetukan identitas yang terdalam sebagai pribadi