Ketika orang yang tidak bermain game secara rutin memperhatikan video
game biasanya diliputi perasaan cemas. Tampak seolah-olah game hanya memberikan dampak negatif
berupa seksualitas, kekerasan, dan isolasi. Benarkah demikian? Beck dan Wade
(2007) memberikan gambaran terhadap beberapa hal yang sering dikonotasikan
negatif oleh nongamer:
1.
Peran Gender
Video
game adalah bidang permainan yang sama bagi kedua
gender. Mungkin jumlah pemain perempuan yang rutin lebih sedikit, tetapi
jumlahnya semakin meningkat. Apabila
fokus pada cara game dapat mengubah
peran gender, lamanya seseorang bermain tampaknya tidak sepenting jenis game yang dimainkan.Wanita lebih
cenderung menyukai teka-teki, sementara pria lebih menyukai strategi, olahraga,
balap, dan game sarat aksi lainnya.
Interaktivitas game
membuat peran gender menjadi lebih fleksibel. Saat bermain, gamer laki-laki dan perempuan dapat
bereksperimen dengan peran gender manapun. Sedikit sekali muncul komentar
negatif dari sesama gamer yang
memilih memainkan tokoh lawan jenis. Bagi mereka jenis kelamin tidak lah begitu
penting, lebih penting mempertimbangkan tokoh yang kuat, cepat, cerdas, dan
memiliki peluang yang sama untuk menang.
Satu hal yang jelas bahwa game bukan dominasi kaum laki-laki, partisipasi wanita terus
meningkat, dan perilaku terkait peran gender tidak segamblang yang diduga para nongamer. Pemicu pengalaman dan pembelajaran
adalah karakter alamiah dasar bermain game,
bukan kandungan superfisial. Bermain game
secara umum jauh lebih berpengaruh pada sikap dan perilaku bisnis, daripada
tipe game yang dimainkan.
2.
Kekerasan
Orangtua dan sebagian besar orang lain khawatir bahwa
game terlalu sarat kekerasan,
menggambarkan berbagai tindakan mematikan yang seringkali ilegal secara jelas
dan tanpa pertimbangan moral. Hal ini menimbulkan kecemasan akan menjadikan
anak muda tidak sadar akibat dari perbuatan-perbuatan tersebut jika dilakukan
di dunia nyata. Ternyata, yang terjadi tidak separah yang diperkirakan.
Media massa mendorong untuk percaya bahwa ada
hubungan kuat antara kekerasan dan game.
Banyak referansi yang mengacusejumlah penelitian ilmiah tentang korelasi antara
kekerasan game. Namun, hasil
penelitian ini umumnya tidak menghasilkan kesimpulan yang jelas. Sebaliknya
justru memicu perdebatan di antara akademisi.
Di dunia nyata, stastistik kejahatan di bawah umur
menurun tajam (bersamaan dengan tingkat kejahatan secara umum) pada masa-masa
awal ketika tingkat kekerasan video game
mencapai masa kritis. Tingkat kejahatan di sekolah juga tidak meningkat, yang
bertambah hanya liputan media bahwa video
game begitu mematikan.
3.
Stereotipe
Orang-orang di luar generasi game cenderung berasumsi bahwa bermain game digital akan menghambat perkembangan sosial yang normal.
Khawatir jika gamer akan menjadi
penyendiri yang kecanduan pada kegiatan eskapisme (pelarian). Dalam beberapa
hal, sulit untuk menyangkal bahwa game
adalah suatu bentuk pelarian. Secara fisik pemain memang ada dalam suatu
ruangan, misalnya. Namun, kegirangan ketika memainkannya adalah sesuatu yang
hanya bisa dirasakan mereka. Hal ini cenderung membuat nongamer khawatir. Kecemasan bahwa para gamer akan terus menerus kabur dalam dunia kecil mereka.
Orang lain, biasanya orangtua gamer, sebenarnya
melakukan hal yang sama dengan televisi. Bagi para nongamer pelarian mengimplikasikan campuran rasa takut, kelemahan,
dan kurangnya ambisi.
Gamer, dari sudut pandangnya,
mengetahui secara jelas perbedaan antara game
dengan dunia realitas. Banyak yang berkata bahwa game adalah cara gamer
mengalami hal-hal yang tidak bisa mereka alami di dunia nyata. Nuansa ini
menunjukkan bahwa batas antara realitas dan realitas dunia maya bagi para gamer jauh lebih jelas daripada yang
dilihat nongamer pada umumnya. Ketika
gamer mngatakan tentang realitas
dunia maya, maksudnya adalah “seperti dunia nyata, tapi lebih asyik!”, dengan
kata lain hiburan. Hiburan adalah sesuatu yang mereka pahami di tingkat bawah
sadar karena generasi ini memang besar dalam dunia yang menjunjung tinggi
hiburan.
Gamer memilih hiburan yang diciptakan
dari contoh realitas, kemudian disunting, dipercepat, dan diperkuat menjadi hal
yang sama sekali berbeda. Bagi nongamer,
ini adalah eskapisme, menarik diri dari dunia nyata. Namun, bagi gamer ini sekedar melibatkan diri dalam
bagian dunia nyata lain yang berbeda, bagian yang jauh lebih menyenangkan.
4.
Isolasi
Isu isolasi menggambarkan gamer sebagai seorang yang penyendiri, kikuk, dan menyebalkan,
hanya bergaul dengan orang-orang maya karena tidak pernah bergaul dengan
orang-orang nyata. Seperti menonton film atau membaca buku, keasyikan bermain video game terlihat seperti menghilang
dari dunia luar. Kebanyakan game
hanay bisa dimainkan sendirian. Uniknya, jenis game yang paling kompleks secara sosial justru dianggap paling
terisolasi manusia dengan menyediakan banyak pemain dengan daftar karakteristik
lengkap yang dapat dipilih dan aturan rumit untuk mengendalikan interaksi
mereka. Para pemain rela menginvestasikan sejmlah besar waktunya, dalam penelitian
dikatakan bisa jadi dua puluh empat jam dalam satu minggu. Komitmen waktu yang
sangat besar ini membuat orang di sekitarnya merasa terganggu. Nongamer berprasangka bahwa game menyeret individu-individu yang tidak bisa berinteraksi secara
sosial.
Memang video
game bukannya tidak berbahaya sama sekali, tetapi bisa dipastikan tentang
dua hal, yaitu pertama video game
telah menjadi standar budaya, game adalah
salah satu bagian dari hidup.inilah sebabnya melarang video game akan memicu perlawanan keras. Namun, ini berarti
mengizinkan video game adalah sesuatu
yang benar. Harris (dalam Buck & Wade, 2007, h. 68) menyatakan bahwa setiap
generasi membesarkan dirinya sendiri. Jadi, cukup dengan berbagi pengalaman
dengan teman sebaya sudah bagus.
salam, calon psikolog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar