Jumat, 01 Maret 2013

Dampak Negatif bermain Game

Ketika orang yang tidak bermain game secara rutin memperhatikan video game biasanya diliputi perasaan cemas. Tampak seolah-olah game hanya memberikan dampak negatif berupa seksualitas, kekerasan, dan isolasi. Benarkah demikian? Beck dan Wade (2007) memberikan gambaran terhadap beberapa hal yang sering dikonotasikan negatif oleh nongamer:
1.         Peran Gender
Video game adalah bidang permainan yang sama bagi kedua gender. Mungkin jumlah pemain perempuan yang rutin lebih sedikit, tetapi jumlahnya semakin meningkat. Apabila fokus pada cara game dapat mengubah peran gender, lamanya seseorang bermain tampaknya tidak sepenting jenis game yang dimainkan.Wanita lebih cenderung menyukai teka-teki, sementara pria lebih menyukai strategi, olahraga, balap, dan game sarat aksi lainnya.
Interaktivitas game membuat peran gender menjadi lebih fleksibel. Saat bermain, gamer laki-laki dan perempuan dapat bereksperimen dengan peran gender manapun. Sedikit sekali muncul komentar negatif dari sesama gamer yang memilih memainkan tokoh lawan jenis. Bagi mereka jenis kelamin tidak lah begitu penting, lebih penting mempertimbangkan tokoh yang kuat, cepat, cerdas, dan memiliki peluang yang sama untuk menang.
Satu hal yang jelas bahwa game bukan dominasi kaum laki-laki, partisipasi wanita terus meningkat, dan perilaku terkait peran gender tidak segamblang yang diduga para nongamer. Pemicu pengalaman dan pembelajaran adalah karakter alamiah dasar bermain game, bukan kandungan superfisial. Bermain game secara umum jauh lebih berpengaruh pada sikap dan perilaku bisnis, daripada tipe game yang dimainkan.
2.         Kekerasan
Orangtua dan sebagian besar orang lain khawatir bahwa game terlalu sarat kekerasan, menggambarkan berbagai tindakan mematikan yang seringkali ilegal secara jelas dan tanpa pertimbangan moral. Hal ini menimbulkan kecemasan akan menjadikan anak muda tidak sadar akibat dari perbuatan-perbuatan tersebut jika dilakukan di dunia nyata. Ternyata, yang terjadi tidak separah yang diperkirakan.
Media massa mendorong untuk percaya bahwa ada hubungan kuat antara kekerasan dan game. Banyak referansi yang mengacusejumlah penelitian ilmiah tentang korelasi antara kekerasan game. Namun, hasil penelitian ini umumnya tidak menghasilkan kesimpulan yang jelas. Sebaliknya justru memicu perdebatan di antara akademisi.
Di dunia nyata, stastistik kejahatan di bawah umur menurun tajam (bersamaan dengan tingkat kejahatan secara umum) pada masa-masa awal ketika tingkat kekerasan video game mencapai masa kritis. Tingkat kejahatan di sekolah juga tidak meningkat, yang bertambah hanya liputan media bahwa video game begitu mematikan.
3.         Stereotipe
Orang-orang di luar generasi game cenderung berasumsi bahwa bermain game digital akan menghambat perkembangan sosial yang normal. Khawatir jika gamer akan menjadi penyendiri yang kecanduan pada kegiatan eskapisme (pelarian). Dalam beberapa hal, sulit untuk menyangkal bahwa game adalah suatu bentuk pelarian. Secara fisik pemain memang ada dalam suatu ruangan, misalnya. Namun, kegirangan ketika memainkannya adalah sesuatu yang hanya bisa dirasakan mereka. Hal ini cenderung membuat nongamer khawatir. Kecemasan bahwa para gamer akan terus menerus kabur dalam dunia kecil mereka.
Orang lain, biasanya orangtua gamer, sebenarnya melakukan hal yang sama dengan televisi. Bagi para nongamer pelarian mengimplikasikan campuran rasa takut, kelemahan, dan kurangnya ambisi.
Gamer, dari sudut pandangnya, mengetahui secara jelas perbedaan antara game dengan dunia realitas. Banyak yang berkata bahwa game adalah cara gamer mengalami hal-hal yang tidak bisa mereka alami di dunia nyata. Nuansa ini menunjukkan bahwa batas antara realitas dan realitas dunia maya bagi para gamer jauh lebih jelas daripada yang dilihat nongamer pada umumnya. Ketika gamer mngatakan tentang realitas dunia maya, maksudnya adalah “seperti dunia nyata, tapi lebih asyik!”, dengan kata lain hiburan. Hiburan adalah sesuatu yang mereka pahami di tingkat bawah sadar karena generasi ini memang besar dalam dunia yang menjunjung tinggi hiburan.
Gamer memilih hiburan yang diciptakan dari contoh realitas, kemudian disunting, dipercepat, dan diperkuat menjadi hal yang sama sekali berbeda. Bagi nongamer, ini adalah eskapisme, menarik diri dari dunia nyata. Namun, bagi gamer ini sekedar melibatkan diri dalam bagian dunia nyata lain yang berbeda, bagian yang jauh lebih menyenangkan.
4.         Isolasi
Isu isolasi menggambarkan gamer sebagai seorang yang penyendiri, kikuk, dan menyebalkan, hanya bergaul dengan orang-orang maya karena tidak pernah bergaul dengan orang-orang nyata. Seperti menonton film atau membaca buku, keasyikan bermain video game terlihat seperti menghilang dari dunia luar. Kebanyakan game hanay bisa dimainkan sendirian. Uniknya, jenis game yang paling kompleks secara sosial justru dianggap paling terisolasi manusia dengan menyediakan banyak pemain dengan daftar karakteristik lengkap yang dapat dipilih dan aturan rumit untuk mengendalikan interaksi mereka. Para pemain rela menginvestasikan sejmlah besar waktunya, dalam penelitian dikatakan bisa jadi dua puluh empat jam dalam satu minggu. Komitmen waktu yang sangat besar ini membuat orang di sekitarnya merasa terganggu. Nongamer  berprasangka bahwa game menyeret individu-individu yang tidak bisa berinteraksi secara sosial.
Memang video game bukannya tidak berbahaya sama sekali, tetapi bisa dipastikan tentang dua hal, yaitu pertama video game telah menjadi standar budaya, game adalah salah satu bagian dari hidup.inilah sebabnya melarang video game akan memicu perlawanan keras. Namun, ini berarti mengizinkan video game adalah sesuatu yang benar. Harris (dalam Buck & Wade, 2007, h. 68) menyatakan bahwa setiap generasi membesarkan dirinya sendiri. Jadi, cukup dengan berbagi pengalaman dengan teman sebaya sudah bagus.

salam, calon psikolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar