Pengendalian Sosial
Para ahli sosiologi menggunakan istilah pengendalian
sosial untuk menggambarkan segenap cara dan proses yang ditempuh oleh
sekelompok orang atau masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak
sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat itu.
Terdapat cara-cara yang dilakukan suatu kelompok atau
masyarakat untuk membuat para anggotanya berperilaku sesuai dengan apa yang
diharapkannya.
Pengendalian Sosial Melalui Sosialisasi
Fromm pernah menyatakan bahwa
jika suatu kelompok ingin berfungsi secara efisien, maka para anggotanya harus
memiliki sifat yang membuat mereka ingin
berbuat sesuai dengan apa yang harus mereka lakukan sebagai anggota masyakarat.
Mereka harus memperhatikan perbuatan yang secara objektif perlu mereka lakukan.
Orang dikendalikan terutama
dengan mensosialisasikan mereka sehingga mereka menjalankan peran sesuai dengan
apa yang diharapkan. Hal tersebut dilakukan melalui penciptaan kebiasaan dan
rasa senang. Tahap yang terpenting dalam
mempersiapkan peran seseorang adalah upaya mempelajari sikap dan perasaan yang
dapat membuat peran itu menjadi menarik. Kegagalan peran dikarenakan seseorang
terperangkap dalam peran yang sebenarnya tidak diinginkan dan dinikmati.
Sosialisasi membentuk kebiasaan, keinginan, adat istiadat kita. Tata cara dan
kebiasaan merupakan penghemat waktu yang hebat. Keduanya membantu kita untuk
dapat mengambil sekian banyak keputusan.
Apabila semua anggota
masyarakat memiliki pengalaman sosialisasi yang sama maka mereka akan secara
suka rela dan tanpa berfikir akan beperilaku sama. Mereka akan menyesuaikan
diri dengan harapan-harapan social, tanpa menyadari bahwa mereka sedang
melakukan penyesuaian atau adanya pertimbangan yang serius. Seperti adanya
hasrat hati sepasang kekasih yang ingin melakukan perkawinan lebih didorong
karena adanya faktor keinginan untuk menyesuaikan diri dengan pola keluarga
batih yang monogram. Daripada oleh faktor akademis. Begitulah yang disebut konformitas. Melalui sosialisasi,
seseorang akan menghayati norma-norma, nilai-nilai, dan hal-hal yang tabu dalam masyarakatnya. Menghayati semua hal
tersebut berarti menjadikannya bagian perilaku otomatis yang dilakukan tanpa
pikir. Jadi, tidak ada kemungkinan untuk melanggar norma atau aturan, kalaupun
dia sungguh-sungguh tergoda, maka hati kecilnya akan mencegah pelanggaran tersebut. Keadaan itu
yang akan terjadi pada masyarakat yang memiliki kebudayaan yang stabil dan utuh, dimana masyarakat yang mempunyai konsensus (kesepakatan).
Pengendalian
Sosial Melalui Tekanan Sosial
Lapiere melihat pengendalian
sosial terutama sebagai proses yang lahir dari kebutuhan individu akan
penerimaan kelompok. Ia mengatakan bahwa kelompok akan sangat berpengaruh jika
anggotanya sedikit dan akrab, jika kita ingin tetap berada dalam kelompok itu
untuk jangka waktu yang lama.
Semua ahli sependapat bahwa
kebutuhan kita akan penerimaan kelompok merupakan alat penunjang yang paling
hebat, yang dapat dipakai untuk menerapkan keinginan kelompok, demi norma norma
kelompok.
Tekanan keinginan kelompok ini
sebagai suatu proses yang berkesinambungan
dan sebagian besar berlangsung tanpa disadari. Proses tersebut digambarkan oleh
kehidupan salah seorang kenalan pengarang.
Para ahli psikologi sosial
telah melakukan eksperimen klasik yang membuktikan bahwa seseorang cendrung
mengekspresikan pernyataan pribadi yang seirama dengan pandangan kelompoknya. Dalam serenten eksperimen yang jitu , Asch ,
Tuddenham, dan beberapa orang lainnya membuktikan bahwa banyak orang bahkan
lebih senang mengubah pandangan yang sudah mereka tahu benar daripada menentang
pandangan kelompok.
Eksperimen juga membuktikan
bahwa anggota yang pandangnya sangat menyimpang dari norma norma kelompok akan
ditolak oleh kelompoknya.
Konformitas yang seksama
merupakan alat untuk memperoleh penerimaan dan status dalam kelompok ,
sebaliknya penolakan kelompok merupakan akibat dari sikap yang non-konformis.
1. Pengendalian
Kelompok yang Informal Primer
Kelompok primer adalah
kelompok yang kecil, akrab, dan besifat informal, seperti keluarga, kelompok
bermain, dan sebagainya. Pengendalian dalam kelompok primer terjadi secara
informal, spontan, dan tanpa direncanakan. Para anggota kelompok bereaksi
terhadap perilaku sesamanya. Bilamana seorang anggota menyakiti atau
menyinggung perasaan para anggota lainnya, maka mereka itu mungkin saja akan
menunjukkan perasaan ketidaksenangannya dengan cara mengejek, menertawai,
mengeritik, atau bahkan menyisihkan anggota tersebut dari pergaulan. Bilaman
perilaku seorang anggota menyenangkan, maka imbalan yang biasa diterimanya
ialah “perasaan diterima” yang menyenangkan.
2. Pengendalian
Kelompok Sekunder
Kelompok sekunder pada umumnya
lebih besar, lebih impersonal, dan mempunyai tujuan yang khusus. Kita tidak
menggunakan kelompok semacam itu untuk memenuhi kebutuhan kita akan hubungan
yang intim dan manusiawi, tetapi untuk membantu kita dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan. Jika kelompok sekunder tidak dapat memenuhi kebutuhan kita, maka
pada umumnya kita dapat saja menarik diri tanpa kesedihan yang mendalam, karena
keterlibatan emosi kita terhadapnya tidaklah mendalam. Biasanya kelompok
sekunder merupakan lembaga pengendali yang lebih lemah daripada kelompok
primer.
Kelompok sekunder masih
merupakan alat pengendali yang efektif. Beberapa bentuk pengendalian informal
masih berperan dalam kelompok sekunder. Tidak ada seorang pun yang ingin tampak
ganjil pada pertemuan serikat kerja, perkumpulan rohani di Gereja, atau pada
acara makan malam kamar dagang, Pengendalian informal seperti ejekan, tawa,
perguncingan (gosip), dan pengucilan berperan dalam lingkungan kelompok
sekunder, namun pada umumnya pengaruhnya sudah berkurang. Pengendalian yang
lebih formal merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh kelompok sekunder,
misalnya, peraturan resmi dan tata cara yang distandardisasi, propaganda,
hubungan masyarakat, rekayasa manusia (hukum engineering), kenaikan golongan
(pangkat) dan pemberian gelar, imbalan dan hadiah, sangsi dan hukuman formal,
dan sebagainya.
3. Bahasa sebagai
Alat Pengendali
Bahasa merupakan suatu alat untuk menggambarkan
kenyataan, dan perubahan dalam penggunaan bahasa dapat mengubah cara pandang
orang terhadap kenyataan. Hal seperti itulah yang disebut oleh penganut paham
interaksi simbolis sebagai ‘konstruksi kenyataan sosial’. Suatu redefinisi,
yang memberikan arti baru terhadap kata-kata lama, dapat mengakibatkan lahirnya
redefinisi sikap dan jalinan hubungan.
4. Pengendalian
Sosial Komunis
Pengendalian sosial secara formal di negara-negara
barat yang demokratis banyak ditentukan oleh undang-undang tertulis,
persidangan-pengadilan, dasn pemberian hukuman berdasarkan hukum yang berlaku.
Pengendalian sosial di republik China tidak banyak ditentukan oleh
undang-undang, RRC menggunakan penuh indoktrinasi secara terus-menerus,
pengendalian penuh terhadap media komunikasi, dan sangsi keras bilamana perlu,
dan andalan utamanya adalah tekanan kelompok. Pengendalian sosial di China
memang efektif, namun cenderung kejam. Orang tidak diberi hak untuk menyalurkan
pendapat, keinginan, dan mempunyai tujuan lain yang tidak sesuai dengan apa
yang telah diputuskan secara resmi. Seseorang yang menentang akan diberi
hukuman yang bervariasi dari penolakan kelompok, penolakan pemberian pekerjaan,
penolakan pemberian tempat tinggal sampai penempatan pada ‘pusat pendidikan
ulang’ sampai orang itu mengalah atau meninggal.
Pengendalian
Sosial Melalui Kekuatan
Banyak masyarakat primitive
berhasil mengendalikan perilaku para individu dengan menggunakan nilai-nilai
adat, yang ditunjang oleh pengendalian informal dari kelompok primer. Oleh
karena itu, tidak lagi diperlukan hukuman formal dan pelaksanaan hukuman.
Namun, pada masyarakat yang memiliki penduduk dengan jumlah yang besar dan kebudayaan yang lebih kompleks,
diperlukan pemerintahan formal, peraturan hukum dan pelaksanaan hukuman.
Bilamana seseorang tidak mau
menaati peraturan, maka kelompok akan mencoba memaksanya untuk taat pada
peraturan tersebut. Namun, pada kelompok yang besar keberadaan individu terlalu
sulit untuk dapat di kendalikan oleh tekanan kelompok secara informal. Di
samping itu, pada masyarakat yang besar dan berkebudayaan kompleks, beberapa
kebudayaan khusus mungkin saja bertentangan dengan budaya orang banyak,
‘kesepakatan normal’ – persetujuan yang hampir sempurna terhadap apa yang
dianggap benar dan salah – yang biasanya di temukan pada masyarakat kecil yang
berkebudayaan stabil, jarang ditemukan pada masyarakat benar yang kebudayaannya
selalu mengalami perubahan. Dalam masyarakat besar seperti itu, orang yang
menentang norma-norma kelompok mayoritas mungkin saja akan mendapat dukungan emotional dari kelompoklain
yang berpandangan dan bertindak sama dengan orang itu (salah satu contoh ilah
masyarakat Amish, kelompok masyarakat hipis, atau kelompok kebudayaan khusus
kaum homo seks) itulah sebabnya masyarakat konvensional kadang-kadang
menggunakan kekuatan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal demi
memaksakan teriptanya kadar konformitas minimum yang diperlukan. Kekuatan itu
tidak selamanya berhasil, namun tetap dipergunakan pada setiap masyarakat
kompleks
salam, calon psikolog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar