Jumat, 01 Maret 2013

Pengendalian Sosial - Kelompok

Pengendalian Sosial
Para ahli sosiologi menggunakan istilah pengendalian sosial untuk menggambarkan segenap cara dan proses yang ditempuh oleh sekelompok orang atau masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat itu.

Terdapat cara-cara yang dilakukan suatu kelompok atau masyarakat untuk membuat para anggotanya berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkannya.

Pengendalian Sosial Melalui Sosialisasi
Fromm pernah menyatakan bahwa jika suatu kelompok ingin berfungsi secara efisien, maka para anggotanya harus memiliki sifat yang membuat mereka ingin berbuat sesuai dengan apa yang harus mereka lakukan sebagai anggota masyakarat. Mereka harus memperhatikan perbuatan yang secara objektif perlu mereka lakukan.

Orang dikendalikan terutama dengan mensosialisasikan mereka sehingga mereka menjalankan peran sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal tersebut dilakukan melalui penciptaan kebiasaan dan rasa senang. Tahap yang terpenting dalam mempersiapkan peran seseorang adalah upaya mempelajari sikap dan perasaan yang dapat membuat peran itu menjadi menarik. Kegagalan peran dikarenakan seseorang terperangkap dalam peran yang sebenarnya tidak diinginkan dan dinikmati. Sosialisasi membentuk kebiasaan, keinginan, adat istiadat kita. Tata cara dan kebiasaan merupakan penghemat waktu yang hebat. Keduanya membantu kita untuk dapat mengambil sekian banyak keputusan.

Apabila semua anggota masyarakat memiliki pengalaman sosialisasi yang sama maka mereka akan secara suka rela dan tanpa berfikir akan beperilaku sama. Mereka akan menyesuaikan diri dengan harapan-harapan social, tanpa menyadari bahwa mereka sedang melakukan penyesuaian atau adanya pertimbangan yang serius. Seperti adanya hasrat hati sepasang kekasih yang ingin melakukan perkawinan lebih didorong karena adanya faktor keinginan untuk menyesuaikan diri dengan pola keluarga batih yang monogram. Daripada oleh faktor akademis. Begitulah yang disebut konformitas. Melalui sosialisasi, seseorang akan menghayati norma-norma, nilai-nilai, dan hal-hal yang tabu dalam masyarakatnya. Menghayati semua hal tersebut berarti menjadikannya bagian perilaku otomatis yang dilakukan tanpa pikir. Jadi, tidak ada kemungkinan untuk melanggar norma atau aturan, kalaupun dia sungguh-sungguh tergoda, maka hati kecilnya akan mencegah pelanggaran tersebut. Keadaan itu yang akan terjadi pada masyarakat yang memiliki kebudayaan yang stabil dan utuh, dimana masyarakat yang mempunyai konsensus (kesepakatan).

Pengendalian Sosial Melalui Tekanan Sosial
Lapiere melihat pengendalian sosial terutama sebagai proses yang lahir dari kebutuhan individu akan penerimaan kelompok. Ia mengatakan bahwa kelompok akan sangat berpengaruh jika anggotanya sedikit dan akrab, jika kita ingin tetap berada dalam kelompok itu untuk jangka waktu yang lama.

Semua ahli sependapat bahwa kebutuhan kita akan penerimaan kelompok merupakan alat penunjang yang paling hebat, yang dapat dipakai untuk menerapkan keinginan kelompok, demi norma norma kelompok.
Tekanan keinginan kelompok ini sebagai suatu proses yang berkesinambungan dan sebagian besar berlangsung tanpa disadari. Proses tersebut digambarkan oleh kehidupan salah seorang kenalan pengarang.
Para ahli psikologi sosial telah melakukan eksperimen klasik yang membuktikan bahwa seseorang cendrung mengekspresikan pernyataan pribadi yang seirama dengan pandangan kelompoknya. Dalam serenten eksperimen yang jitu , Asch , Tuddenham, dan beberapa orang lainnya membuktikan bahwa banyak orang bahkan lebih senang mengubah pandangan yang sudah mereka tahu benar daripada menentang pandangan kelompok.

Eksperimen juga membuktikan bahwa anggota yang pandangnya sangat menyimpang dari norma norma kelompok akan ditolak oleh kelompoknya.
Konformitas yang seksama merupakan alat untuk memperoleh penerimaan dan status dalam kelompok , sebaliknya penolakan kelompok merupakan akibat dari sikap yang non-konformis.
1.      Pengendalian Kelompok yang Informal Primer
Kelompok primer adalah kelompok yang kecil, akrab, dan besifat informal, seperti keluarga, kelompok bermain, dan sebagainya. Pengendalian dalam kelompok primer terjadi secara informal, spontan, dan tanpa direncanakan. Para anggota kelompok bereaksi terhadap perilaku sesamanya. Bilamana seorang anggota menyakiti atau menyinggung perasaan para anggota lainnya, maka mereka itu mungkin saja akan menunjukkan perasaan ketidaksenangannya dengan cara mengejek, menertawai, mengeritik, atau bahkan menyisihkan anggota tersebut dari pergaulan. Bilaman perilaku seorang anggota menyenangkan, maka imbalan yang biasa diterimanya ialah “perasaan diterima” yang menyenangkan.  

2.      Pengendalian Kelompok Sekunder
Kelompok sekunder pada umumnya lebih besar, lebih impersonal, dan mempunyai tujuan yang khusus. Kita tidak menggunakan kelompok semacam itu untuk memenuhi kebutuhan kita akan hubungan yang intim dan manusiawi, tetapi untuk membantu kita dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Jika kelompok sekunder tidak dapat memenuhi kebutuhan kita, maka pada umumnya kita dapat saja menarik diri tanpa kesedihan yang mendalam, karena keterlibatan emosi kita terhadapnya tidaklah mendalam. Biasanya kelompok sekunder merupakan lembaga pengendali yang lebih lemah daripada kelompok primer.

Kelompok sekunder masih merupakan alat pengendali yang efektif. Beberapa bentuk pengendalian informal masih berperan dalam kelompok sekunder. Tidak ada seorang pun yang ingin tampak ganjil pada pertemuan serikat kerja, perkumpulan rohani di Gereja, atau pada acara makan malam kamar dagang, Pengendalian informal seperti ejekan, tawa, perguncingan (gosip), dan pengucilan berperan dalam lingkungan kelompok sekunder, namun pada umumnya pengaruhnya sudah berkurang. Pengendalian yang lebih formal merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh kelompok sekunder, misalnya, peraturan resmi dan tata cara yang distandardisasi, propaganda, hubungan masyarakat, rekayasa manusia (hukum engineering), kenaikan golongan (pangkat) dan pemberian gelar, imbalan dan hadiah, sangsi dan hukuman formal, dan sebagainya.

3.      Bahasa sebagai Alat Pengendali
Bahasa merupakan suatu alat untuk menggambarkan kenyataan, dan perubahan dalam penggunaan bahasa dapat mengubah cara pandang orang terhadap kenyataan. Hal seperti itulah yang disebut oleh penganut paham interaksi simbolis sebagai ‘konstruksi kenyataan sosial’. Suatu redefinisi, yang memberikan arti baru terhadap kata-kata lama, dapat mengakibatkan lahirnya redefinisi sikap dan jalinan hubungan.

4.      Pengendalian Sosial Komunis
Pengendalian sosial secara formal di negara-negara barat yang demokratis banyak ditentukan oleh undang-undang tertulis, persidangan-pengadilan, dasn pemberian hukuman berdasarkan hukum yang berlaku. Pengendalian sosial di republik China tidak banyak ditentukan oleh undang-undang, RRC menggunakan penuh indoktrinasi secara terus-menerus, pengendalian penuh terhadap media komunikasi, dan sangsi keras bilamana perlu, dan andalan utamanya adalah tekanan kelompok. Pengendalian sosial di China memang efektif, namun cenderung kejam. Orang tidak diberi hak untuk menyalurkan pendapat, keinginan, dan mempunyai tujuan lain yang tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan secara resmi. Seseorang yang menentang akan diberi hukuman yang bervariasi dari penolakan kelompok, penolakan pemberian pekerjaan, penolakan pemberian tempat tinggal sampai penempatan pada ‘pusat pendidikan ulang’ sampai orang itu mengalah atau meninggal.

Pengendalian Sosial Melalui Kekuatan
Banyak masyarakat primitive berhasil mengendalikan perilaku para individu dengan menggunakan nilai-nilai adat, yang ditunjang oleh pengendalian informal dari kelompok primer. Oleh karena itu, tidak lagi diperlukan hukuman formal dan pelaksanaan hukuman. Namun, pada masyarakat yang memiliki penduduk dengan jumlah yang besar  dan kebudayaan yang lebih kompleks, diperlukan pemerintahan formal, peraturan hukum dan pelaksanaan hukuman.

Bilamana seseorang tidak mau menaati peraturan, maka kelompok akan mencoba memaksanya untuk taat pada peraturan tersebut. Namun, pada kelompok yang besar keberadaan individu terlalu sulit untuk dapat di kendalikan oleh tekanan kelompok secara informal. Di samping itu, pada masyarakat yang besar dan berkebudayaan kompleks, beberapa kebudayaan khusus mungkin saja bertentangan dengan budaya orang banyak, ‘kesepakatan normal’ – persetujuan yang hampir sempurna terhadap apa yang dianggap benar dan salah – yang biasanya di temukan pada masyarakat kecil yang berkebudayaan stabil, jarang ditemukan pada masyarakat benar yang kebudayaannya selalu mengalami perubahan. Dalam masyarakat besar seperti itu, orang yang menentang norma-norma kelompok mayoritas mungkin saja akan  mendapat dukungan emotional dari kelompoklain yang berpandangan dan bertindak sama dengan orang itu (salah satu contoh ilah masyarakat Amish, kelompok masyarakat hipis, atau kelompok kebudayaan khusus kaum homo seks) itulah sebabnya masyarakat konvensional kadang-kadang menggunakan kekuatan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal demi memaksakan teriptanya kadar konformitas minimum yang diperlukan. Kekuatan itu tidak selamanya berhasil, namun tetap dipergunakan pada setiap masyarakat kompleks

salam, calon psikolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar