Rabu, 13 Februari 2013

Diselexia

 Pernah nonton....

Saya merekomendasikan banget film ini, ini tentang disekelsia, salah satu gangguan belajar. :) Apa sih diseleksia itu...? Mungkin bisa baca-baca disini teorinya! Happy reading!

Disleksia adalah kesulitan patologis dalam membaca, yang bukan diakibatkan oleh defisit visual, motorik, atau intelektual secara umum. Ada dua tipe disleksia yang berbeda secara fundamental: developmental dyslexia (disleksia perkembangan), disleksia yang menjadi kasat mata ketika anak belajar membaca, dan acquired dyslexia (disleksia yang didapat), disleksia yang disebabkan oleh kerusakan otak pada individu-individu yang sudah bisa membaca. Disleksia perkembangan adalah masalah yang meluas. Estimasi seluruh insiden disleksia perkembangan dikalangan anak-anak berbahasa inggris berkisar antara 5,3% sampai 11,8% bergantung kriteria yang diterapkan untuk mengidentifikasi disleksia, tetapi insidennya dua sampai tiga kali lebih tinggi di kalangan anak laki-laki daripada di kalangan anak perempuan (Katusic, et al dalam Pinel, 2009). Sebaliknya, disleksia yang didapat relatif jarang.
The British Dyslexia Association memberikan definisi disleksia sebagai kombinasi kemampuan dan kesulitan yang mempengaruhi proses belajar membaca, mengeja, dan/atau menulis. Kelemahan yang menyertainya bisa diidentifikasi dalam bidang kecepatan proses, memori jangka pendek, mengurutkan, persepsi auditori dan/atau persepsi visual, bahasa lisan, dan keterampilan motorik. Hal ini sangat terkait dengan penguasaan dan penggunaan bahasa tertulis, yang mencakup notasi abjad, angka, dan notasi musik (Peer, dalam Reid & Kirk, 2001).

Disleksia merujuk pada anak yang tidak dapat membaca sekalipun penglihatan, pendengaran, inteligensinya normal, dan ketrampilan usia bahasanya sesuai. Kesulitan belajar tersebut akibat faktor neurologis dan tidak dapat diatributkan pada faktor kedua, misalnya lingkungan atau sebab sebab sosial (Corsini dalam Imandala, 2009).
Disleksia sebagai kesulitan membaca berat pada anak yang berinteligensi normal dan bermotivasi cukup, berlatar belakang budaya yang memadai dan berkesempatan memperoleh pendidikan serta tidak bermasalah emosional (Guszak dalam Imandala, 2009).
Disleksia adalah suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen­-komponen kata dan kalimat, yang secara historis menunjukan perkembangan bahasa lambat dan hampir selalu bermasalah dalam menulis dan mengeja serta berkesulitan dalam mempelajari sistem representasional misalnya berkenaan dengan waktu, arah, dan masa. (Bryan & Bryan dalam Imandala, 2009).
Disleksia adalah bentuk kesulitan belajar membaca dan menulis terutama belajar mengeja secara betul dan mengungkapkan pikiran secara tertulis dan ia telah pernah memanfaatkan sekolah normal serta tidak memperlihatkan keterbelakangan dalam mata pelajaran-mata pelajaran lainnya (Hornsby dalam Imandala, 2009).
Mereka memiliki kesulitan menguraikan huruf-huruf dan kombinasinya; serta mengalami kesulitan menerjemahkannya menjadi suara yang tepat (Miller-Medzon, dalam Nevid, 2005). Mereka mungkin juga salah mempersepsikan huruf-huruf seperti jungkir balik, misalnya n menjadi u atau melihatnya secara terbalik, misal b menjadi d.
Dalam DSM-IV-TR gangguan membaca (reading disorder) didefinikan sebagai diskrepansi yang signifikan antara prestasi seseorang dalam membaca dengan pencapaian yang diharapkan dari orang dengan umur yang sama (APA, dalam Durand & Barlow, 2007). Secara lebih spesifik kriteria ini mensyaratkan bahwa individu tersebut membaca dengan tingkat yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan individu lain yang seusia, kemampuan kognitif (diukur melalui tes IQ), dan latar belakang yang setara dengannya. Selain itu, disability ini pasti bukan disebabkan oleh masalah pengindraan seperti gangguan penglihatan atau pendengaran (Durand & Barlow, 2007).
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa disleksia adalah kesulitan membaca, mengeja, dan menulis di mana penderitanya kesulitan untuk mempelajari komponen-komponen kata padahal secara inteligensi dan keterampilan memiliki kapasitas yang sesuai untuk membaca yang mana penyebab dari gangguan ini bisa berasal dari faktor neurologis maupun faktor lingkungan.

Etiologi Disleksia
Anak penderita disleksia bukanlah anak yang bodoh. Umumnya penderita Disleksia mempunyai kecerdasan yang normal bahkan ada yang IQ nya di atas rata-rata (Devaraj, 2006). Namun, masalahnya tidak pada tingkat kecerdasan saja. Gangguan membaca mungkin memiliki dasar genetik; orangtua dan saudara kandung penderita gangguan membaca lebih banyak yang memperlihatkan gangguan ini dibanding anggota keluarga individu yang tidak mengalami gangguan (Popper, dan kawan-kawan, dalam Durand & Barlow, 2007). Penyakit disleksia ini juga merupakan penyakit bawaan sejak lahir, di mana salah satu bagian otak kirinya (hemisfir kiri) mengalami gangguan. Hemisfir kiri ini bertugas untuk masalah kebahasaan.
Teori-teori tentang etiologi gangguan belajar mengasumsikan keberadaan asal muasal yang sangat beragam dan kompleks serta melibatkan berbagai faktor genetik, neurobiologis, dan lingkungan. Penelitian terhadap pasangan kembar identik menunjukkan apabila salah satu menerima diagnosis gangguan membaca, tampak ada peluang 100% bagi saudara kembarnya menerima diagnosis yang sama. Gen-gen di kromosom 2, 3, 6, 15, dan 18 seringkali ditemukan berhubungan dengan masalah ini. Namun, sekali lagi gangguan belajar sangat dipengaruhi faktor biologis dan psikososial (Durand & Barlow, 2007).
Suatu studi terhadap anak-anak yang terlambat menguasai keterampilan berbahasa atau membaca karena mereka tidak bisa membedakan suara-suara tertentu, misalnya da dan ga (Kraus, dan kawan-kawan, dalam Durand & Barlow, 2007). Ditemukan bahwa otak anak-anak tersebut benar-benar tidak dapat melihat perbedaan di antara suara-suara tersebut. hal ini menyiratkan adanya defisit neuropsikologis yang mengganggu pemrosesan informasi bahasa esensial tertentu. Defisit fisiologis semacam itu tidak konsisten untuk semua individu (Hynd dan Semrud-Clikeman, dalam Durand & Barlow, 2007).
Meski belum ada yang dapat memastikan penyebab disleksia ini, namun ada beberapa faktor penyebab disleksia itu sendiri, yaitu; 
Faktor keturunan dan biologis
Disleksia cenderung terdapat pada keluarga yang mempunyai anggota kidal. Orang tua yang disleksia tidak secara otomatis menurunkan gangguan ini kepada anak-anaknya, atau anak kidal pasti disleksia. Penelitian Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi, bahwa 80 persen dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga yang kidal (http://www.tabloid-nakita.com/Panduan/panduan05228-02.htm).
Shaywitz dan Mody (2006), mengemukakan bahwa adanya gangguan pada belahan orak kiri sistem saraf posterior pada anak dan remaja penderita disleksia saat mereka mencoba membaca.
Disleksia lebih besar kemungkinan ditemui pada kembar identik daripada kembar fraternal, sekitar 70% vs. 40% (Plomin dkk, 1994) dan mereka yang memiliki orang tua disleksia akan beresiko lebih besar untuk memiliki gangguan tersebut (Volger, DeFris, dan Decker, 1985 dalam Pinel 2009).

 Problem pendengaran sejak usia dini
Apabila dalam 5 tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter ahli.
Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah diperlukan (http://www.tabloid-nakita.com/Panduan/panduan05228-02.htm).

 Faktor kombinasi
Ada pula kasus disleksia yang disebabkan kombinasi dari 2 faktor di atas, yaitu problem pendengaran sejak kecil dan faktor keturunan. Faktor kombinasi ini menyebabkan kondisi anak dengan gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut dewasa.
Dengan perkembangan teknologi CT Scan, bisa dilihat bahwa perkembangan sel-sel otak penderita disleksia berbeda dari mereka yang nondisleksia. Perbedaan ini mempengaruhi perkembangan fungsi-fungsi tertentu pada otak mereka, terutama otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.
Selain itu, terjadi perkembangan yang tidak proporsional pada sistem magno-cellular di otak penderita disleksia. Sistem ini berhubungan dengan kemampuan melihat benda bergerak. Akibatnya, objek yang mereka lihat tampak berukuran lebih kecil. Kondisi ini menyebabkan proses membaca jadi lebih sulit karena saat itu otak harus mengenali secara cepat huruf-huruf dan sejumlah kata berbeda yang terlihat secara bersamaan oleh mata (http://www.tabloid-nakita.com/Panduan/panduan05228-02.htm).

 Faktor budaya
Paule (dalam Pinel, 2009) berasumsi bahwa disleksia perkembangan tidak mungkin merupakan sebuah gangguan otak karena dipengaruhi oleh budaya dan berdasarkan temuan mereka bahwa sejumlah penutur bahasa inggris yang di diagnosis disleksia sekitar dua kali lebih banyak dibanding penutur bahasa italia.
Hidayah, dari hasil penelitiannya terhadap 5 sampel penelitian dapat menyimpulkan faktor kesulitan membaca menulis sangat komplek, antara lain:  
Disfungsi sistem saraf (subjek 3), Subyek memiliki kelainan pada sistem syaraf tubuh sebelah kanan setelah subyek mengalami kejang-kejang pada saat subyek berumur 3 bulan. Hal ini menyebabkan subyek mengalami gangguan pada system motoriknya terutama pada mata dan tangannya 
Lambat perkembangan dan kekurangan gizi, kurang nutrisi (subjek 1, 2). Pada Responden T mengalami kelambatan perkembangan dalam bicara dan pada usia 3 tahun baru bisa bicara.
 Lemahnya kemampuan mengingat, memori jangka pendek lambat (subjek 5) dan intelegensi terbatas (subjek 1, intelegensi subjek di bawah rata-rata, subjek W), 
Pengaruh lingkungan keluarga. Keluarga tidak harmonis dan sarana pembelajaran yang kurang (subjek 1), Dukungan keluarga yang sedikit terhadap kegiatan belajar subyek terutama kegiatan untuk melatih kemampuan menulisnya.
 Kurang matang fisik, sosial dan emosional, contoh subjek ingin menang sendiri dan mengamuk (subjek 2). Subyek terlihat sering terdiam seperti melamun disela-sela menulis soal mata pelajaran. Meskipun begitu, subyek merupakan anak yang cepat tanggap dengan perintah-perintah yang diberikan guru kepadanya. Subyek merupakan anak dengan pemahaman yang bagus dalam sebuah bacaan meskipun memiliki kesulitan menulis. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan subyek membaca dengan lancar, bersemangat dan dengan suara yang lantang. Subyek merupakan siswa yang supel dan ramah dengan orang lain meskipun itu orang asing. Pada saat melakukan aktivitas dengan teman-teman sebayanya di sekolah, subyek terlihat sering diam atau menyendiri menjauhi teman-temannya. Pada saat di dalam kelas, subyek sering menjadi bahan ejekan teman-temannya terutama pada saat subyek mendapat giliran untuk menjawab soal yang ada di papan tulis. Subyek merasa minder karena ejekan teman-teman sebayanya di sekolah.

people with dislekxia
 salam, calon psikolog :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar