Rabu, 13 Februari 2013

Teori Psikologi : Pelacuran dan Lokalisasi

Sejarah Pelacuran
Pada masa lalu pelacuran itu mempunyai koneksi dengan penyembahan dewa-dewa dan upacara-upacara keagamaan tertentu. Pada zaman kerajaan Mesir kuno, Phunisia, Assiria, Chalddea, Ganaan dan di Persia, penghormatan terhadap dewa-dewa Isis, Moloch, Baal, Astrate, Mylitta, Bacchus dan dewa lain-lain, disertai orgie-orgie. Orgie (orgia) adalah pesta kurban pada para dewa, khususnya kepada dewa Bacchus yang terdiri dari atas upacara kebaktian penuh rahasia dan misterius sekali sifatnya, disertai pesta-pesta makan rakus-rakusan dan mabuk-mabukan secara berlebihan. Orang juga menggunakan obat-obat pembangkit dan perangsang nafsu birahi untuk melampiaskan hasrat bersetubuh secara terbuka.

Setelah negara-negara dan kerajaan-kerajaan mulai berkembang dan saling berperang, maka banyak sekali tawanan wanita yang dijadikan selir-selir, gundik-gundik, dan penghuni rumah-rumah pelacuran.

Kekuasaan kaum pria yang luar biasa pada banyak suku bangsa primitif itu menjadikan pelacuran sebagai sumber penghasilan bagi para ayah, suami dan para dewa. Sebab, ayah dan para suami yang dianggap sebagai pemilih wanita, bisa memperdagangkan dan menyewakan pelayanan,hiburan dan seks (wanita) kepada banyak laki-laki demi keuntungan para ayah dan suami itu.

Pada zaman Yunani kuno, pelacuran dikontrol oleh pemerintah dan polisi. Mereka dikumpulkan dalam rumah-rumah pelacuran yang disebut dicteria. Control tersebut dimaksudkan agar :
1)      Ada pertanggungjawaban penyelenggaraan,
2)      Tidak merusak moral anak-anak dan pemuda-pemuda,
3)      Tidak melanggar aturan-aturan agama,
4)      Tidak menjadi penghianat negara.

Pada zaman Roma kuno, pelacuran diawasi dan dikontrol dengan ketat oleh polisi. Mereka didaftar, mendapat lisensi dengan bayaran atau cukai, harus memakai pakaian jenis tertentu dan mengecat rambutnya berwarna kuning. Pelacuran dianggap sebagai penyakit. Namun karena banyak bangsawan-bangsawan yang selalu terlibat dalam pesta-pesta free love di tempat pemandian yang terbuat dari pualam di istana-istana megah dengan banyak pelacur, maka akhirnya larangan perzinaan dan pelacuran dengan sendirinya menjadi tidak laku lagi. 

Jakarta (pada masa kolonial bernama Batavia) merupakan pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda, yang sekaligus berperan juga sebagai kota pelabuhan, kota perdagangan, serta menjadi salah satu titik awal lintasan kereta api di Jawa. Dengan kedudukan dan posisinya yang penting dan cukup strategis, Batavia berkembang dengan pesat dan dinamis, baik dari segi pemerintahan maupun ekonomi yang semakin meningkat sejak diterapkannya UU Agraria 1870, telah menimbulkan pula akibat sampingan, yaitu semakin suburnya pertumbuhan prostitusi.

Jika dilihat, maka dapat dikatakan bahwa porstitusi dimulai pada tahun 1930-1959. Periode ini setidaknya meliputi masa kolonial akhir, masa pendudukan Jepang, dan masa awal kemerdekaan Indonesia. Tahun 1930 dipilih sebagai batasan awal penelitian ini dikarenakan pada tahun tersebut sedang terjadi krisis ekonomi yang hebat di dunia, di mana efeknya begitu besar di Hindia Belanda. Akibat krisis ekonomi tersebut, sebagian besar aktifitas perekonomian mengalami gangguan yang serius. Akibatnya, muncul berbagai persoalan menyangkut upaya untuk tetap mendapatkan penghasilan agar tetap dapat survive salah satu gejala yang kemudian tampak cenderung meningkat adalah berkembangnya aktivitas prostitusi di sentrasentra perekonomian yang sedang goyah, termasuk di Batavia. Tahun 1959 dipilih sebagai batasan akhir periode dalam makalah ini, karena pada tahun tersebut terjadi pergantian sistem politik di Indonesia, yaitu dari demokrasi Parlementer ke demokrasi Terpimpin. Selain itu, sejak tahun 1950an mulai terjadi arus urbanisasi ke Jakarta seiring dengan perkembangan kota Jakarta dan adanya proses nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan lapangan pekerjaan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai persoalan di Jakarta, di antaranya masalah prostitusi.

Pada zaman modern sekarang ini, banyak wanita yang menjadi pekerja seksual baik karena keterpaksaan seperti adanya penipuan dan eksploitasi oleh germo, dan atau karena keinginan sendiri demi memenuhi kebutuhan atau gaya hidup.

Definisi Pelacuran
Pelacuran atau Prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat, yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikannya. Pelacuran itu berasal dari bahasa latin pro-stituere atau pro-stauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, percabulan, pergendakan. Sedang prostitue adalah pelacur atau sundal. Dikenal pula dengan istilah WTS atau Wanita Tuna Susila. Secara etimologis prostitusi berasal dari kata prostitutio yang berarti hal menempatkan dihadapkan, hihadapkan, hal menawar. Adapula yang menghubungkannya dengan kata prostare yang berarti menjual atau menjajakan (Verkuyl, 1963).

Menurut Bonger (1967)  menuliskan bahwa Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencarian. Pada definisi ini jelas dinyatakan adanya peristiwa penjualan diri sebagai ”profesi” atau mata pencaharian sehari-hari, dengan jalan melakukan relasi-relasi seksual.

Sedangkan (Kartono, 2003)  menyatakan bahwa Prostitusi  adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran” . Definisi diatas mengemukakan adanya unsur-unsur ekonomis, dan penyerahan diri wanita yang dilakukan secara berulang-ulang atau terus-menerus dengan banyak laki-laki. Selanjutnya Kartono (2003) mengemukakan definisi pelacuran sebagai berikut:
a. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali denganbayak orang (promiskuitas), disertai ekspoitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.
b.  Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks, dengan imbalan pembayaran.
c. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.

Menurut Pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut menyatakan sebagai berikut:
“barang siapa yang pekerjaannya atau kebiasaannya, dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “prostitusi” mengandung makna suatu kesepakatan antara lelaki dan perempuan untuk melakukan hubungan seksual dalam hal mana pihak lelaki membayar dengan sejumlah uang sebagai kompensasi pemenuhan kebutuhan biologis yang diberikan pihak perempuan, biasanya dilakukan di lokalisasi, hotel dan tempat lainnya sesuai kesepakatan

Jenis-jenis prostitusi dapat dibagi beberapa macam, berdasarkan aktivitasnya prostitusi dibagi menjadi.
1.  Prostitusi yang terdaftar
Prostitusi yang pelakunya diawasi oleh pemerintah, kepolisan dan bekerjasama dengan lembaga sosial dan lembaga kesehatan.
2.  Prostitusi yang tidak terdaftar
Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisasi dan tidak memiliki tempat tertentu.

Menurut jumlahnya, prostitusi dapat dibagi dalam:
1.  Prostitusi yang beroperasi secara individual; merupakan single operator
2.  Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur dan rapih. Jadi mereka tidak bekerja sendiri, melainkan diatur melalui satu siste kerja organisasi.

Sedangkan, menurut tempat penggolongan atau lokasinya, prostitusi dibagi menjadi:
1.  Segregasi atau lokalisasi, merupakan tempat pelacuran yang terisolir atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya.
2.  Rumah-rumah panggilan atau call house. Rumah-panggilan merupakan suatu tempat prostitusi yang berbentuk rumah bias di tengah lingkungan kampung atau lingkungan penduduk baik-baik, yang secara gelap menyediakan wanita pelacur.
3.  Dibalik front –organisasi atau dibalik bisnis-bisnis terhormat. Contohnya, salon kecantikan, tempat pemandian uap, tempat pijat.

salam, calon psikolog :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar