Film ini menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang bernama Ishaan
Nandkishore Awasthi. Dia berusia 9 tahun, namun telah duduk dibangku kelas 3
selama 2 tahun, berbeda dengan kakaknya (Yohaan ) yang selalu mendapatkan
prestasi di sekolahnya. Nilai-nilai sekolah Ishaan sangat buruk dan tidak
mengalami peningkatan selama 2 tahun di kelas 3, bagi Ishaan sekolah merupakan
tempat yang menakutkan karena disana dia dijadikan bahan ejekan oleh guru dan
teman-temannya atas ketidakmampuannya mengikuti pelajaran. Di rumah pun, dia tertekan
oleh orangtua terutama ayahnya (Nandkishore Awasthi) yang selalu beranggapan
bahwa Ishaan anak yang nakal. Ayahnya selalu membanding-bandingkan dia dengan
kakaknya, Yohaan. Akan tetapi, dibalik ketidakmampuannya dalam mengikuti
pelajaran, Ia memiliki imajinasi yang tinggi dan berbakat dalam bidang seni ,
terutama seni lukis.
Karena berbagai alasan, akhirnya orangtua Ishaan memutuskan untuk
memindahkan Ishaan ke Sekolah Asrama yang ada di luar kota. Meskipun ibunya (Maya
Awasthi) tidak menginginkan hal tersebut, tetapi hal itu terpaksa dilakukan
karena menginginkan perubahan sikap dan kemampuan akademis Ishaan menjadi lebih
baik.
Setelah beberapa lama berada di Sekolah Asrama, Ishaan tidak mengalami
kemajuan, bahkan ia semakin terpuruk dan hari-harinya penuh tekanan. Sama
seperti di sekolah lamanya, ia masih kesulitan dalam belajar dan selalu
dimarahi oleh guru-gurunya. Didikan sekolah barunya yang memaksa Ishaan untuk
seperti anak lainnya, membuat ia semakin tidak percaya diri, semangatnya hilang
bahkan melukis yang sangat ia gemari pun tidak lagi ia kerjakan.
Hingga suatu hari, datanglah guru pengganti seni bernama Ram Shankar
Nikumbh, seorang guru yang juga mengajar disekolah Tulip (sekolah anak-anak
berkebutuhan khusus). Nikumbh adalah orang pertama yang menyadari adanya
kelainan pada diri Ishaan dengan melihat cara Ishaan menulis dan sikapnya yang
berbeda. Kelainan tersebut dikenal dengan disleksia yaitu suatu kondisi
ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan orang
tersebut dalam mengenal huruf. Atas kepeduliannya pada Ishaan, Nikumbh menemui
kedua orang tua Ishaan untuk memberikan pengertian tentang kondisi Ishaan bahwa
Ishaan sebenarnya mempunyai kelainan yaitu disleksia.
Mulanya kedua orangtua Ishaan tidak menerima apa yang telah dikatakan oleh
Nikumbh, namun setelah Nikumbh menunjukan hasil tulisan Ishaan baru mereka
menyadari bahwa yang diutarakan oleh Nikumbh tersebut adalah benar. Nikumbh
terkaget melihat semua hasil karya Ishaan yang ternyata bakat Ishaan sangat
luar biasa, imajinasi seorang anak seperti Ishaan dicurahkan kepada
gambar-gambar dan lukisan –lukisan yang sangat indah. Nikumbh pun mengerti apa
yang harus dia lakukan terhadap Ishaan. Dengan waktu, kesabaran dan perawatan
Nikumbh berhasil dalam mendorong tingkat kepercayaan Ishaan. Sedikit demi
sedikit Nikumbh mengajari Ishaan menulis, membaca dan berhitung. Akhirnya,
Ishaan pun dapat membaca menulis juga berhitung seperti teman-temannya. Dalam perlombaan
melukis yang diadakan oleh Nikumbh, Ishaan mendapatkan juara 1, mengalahkan
Nikumbh sendiri. Orang tua, guru-guru serta orang-orang sekitar Ishaan
menyadari bahwa Ishaan bukan anak yang abnormal, tetapi anak yang sangat khusus
dengan bakat seni yang luar biasa. Akhirnya Ishaan menjadi anak yang periang
dan bisa bergaul dengan teman-teman lainnya.
Analisis
Pada awalnya tidak ada yang mendiagnosis Ishaan mengalami disleksia. Anak
laki-laki ini mendapatkan label sebagai anak bodoh, nakal, sulit bersosialisasi
dengan teman-teman sebayanya. Orangtua Ishaan tidak memiliki pengetahuan
tentang disleksia, mereka justru sering mambandingkan anak bungsu ini dengan
kakaknya yang bisa mengikuti pelajaran akademik dengan sangat baik.
Diagnosis disleksia ditegakkan oleh guru Ishaan di sekolah asramanya.
Nikumbh mendapat kesimpulan tersebut setelah melihat tulisan dalam buku catatan
murodnya tersebut yang banyak mengandung kesalahan, misalnya menulis
huruf yang seharusnya b menjadi d atau sebaliknya, terbalik saat menulis
huruf S atau R, menulis kalimat dengan ejaan yang salah (t-o-p= pot, s-o-l-i-d=
soild), selain itu dalam menulis angkapun demikian, misalnya 4, 7, 9, 3 yang
ditulisnya terbalik.
Meskipun tidak disebutkan secara
eksplisit, kemungkinan Ishaan mengalami disleksia primer. Beberapa gejala yang
tampak dalam film antara lain kemampuan ketrampilan motorik lebih baik daripada
kemampuan verbal, sukar membedakan huruf: d, b, p, menyusun kata terbalik-balik
(reversal) atau susunan kata tak
teratur. Satu hal yang juga menonjol dari tokoh Ishaan adalah daya imajinasinya
yang sangat tinggi dan keahliannya dalam hal menggambar yang menakjubkan. Kedua
hal ini dimanfaatkan gurunya untuk membantu Ishaan belajar membaca dan menulis.
Nikhumb menggunakan metode remedial teaching secara individu
setelah jam belajar sekolah usai. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi
kebutuhan belajar Ishaan yang berbeda dengan teman-temannya di kelas. Dengan sabar Nikhumb mengajarkan Ishaan mengenal huruf dan
angka dengan cara mengadaptasi model behavioral, belajar menulis dengan media
yang besar kemudian secara perlahan menuliskannya di atas kertas dengan ukuran
kecil, belajar berhitung dengan permainan, dan belajar membaca dengan dongeng
yang bisa memicu imajinasi Ishaan.
Selain membantu Ishaan mengatasi
defisit dalam membca, menulis, dan berhitung, Nikhumb juga memotivasi Ishaan
sehingga mau bersosialisasi dengan teman-teman dan percaya diri dengan
kemampuan yang dimilikinya. Nikhumb menemui orangtua Ishaan dan menjelaskan
kondisi anak mereka dengan tujuan keluarga bisa menerima Ishaan dengan lebih
baik. Faktor-faktor psikologis dan motivasional yang diperkuat oleh orang lain
tampaknya berperan penting pada hasil yang dicapai penderita gangguan belajar.
Faktor-faktor seperti status ekonomi, ekspektansi kultural, interaksi dan
ekspektasi orangtua, praktik manajemen anak, bersama-sama dengan berbagai macam
defisit neurologis dan jenis dukungan yang diberikan di sekolah tampaknya
menentukan kemampuan penderita disleksia terlepas dari kendala yang dihadapinya
(Young & Beitcman, dalam Durand & Barlow, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar